4 | Fun Saturday or Bad Saturday?

5.2K 210 1
                                    

Aaron memilih salah satu kedai kopi yang terlihat sangat elit sebagai tempatnya untuk mengistirahatkan pantatnya sejenak. Ia melonggarkan dasinya yang sedari tadi rasanya mencekik lehernya. Sedangkan Marcus sedang memesankan dua cangkir Arrabica untuk mereka.

“Aku berhutang padamu, Marcus,” kata Aaron kemudian setelah Marcus datang dengan pesanan mereka. Aaron pun menyesap kopinya pelan-pelan.

“Untung saja tadi aku melihat setengah nyawamu yang sudah tidak pada tempatnya,” jawab Marcus sambil cekikikan. Aaron mengangkat kedua alisnya dan kemudian tertawa geli.

Bel pintu kedai kopi berbunyi. Tanda ada pembeli yang masuk. Tatapan Aaron secara otomatis mengarah pada pendatang itu. Sepasang wanita yang berbeda generasi berjalan menuju tempat pemesanan. Salah satu dari mereka yang paling muda membawa dua tas belanjaan. Tatapannya tak lepas pada wanita yang mulai berjalan mendekat ke arahnya. Mereka duduk di meja depannya.

Ya, Tuhan. Entah aku harus berterima kasih atau tidak padaMu sekarang ini karena kau mempertemukan kami kembali. Batin Aaron.

Dia Lily. Aaron bertemu dengan wanita itu lagi.

Dilihatnya wanita itu yang memakai baju kasual. Aaron tidak yakin wanita itu memakai make up atau tidak. Wajah wanita itu sudah cantik natural, tidak seperti kebanyakan wanita yang mulai mengubah wajah mereka. Lily sangatlah alami. Entah ia memakai make up atau tidak, ia tetap terlihat cantik. Senyumnya pun juga mempesona.

Aaron tertunduk tersenyum tak percaya pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia menilai penampilan Lily seperti itu.

“Hey, Aaron. Apa kau baik-baik saja?” Marcus sedikit berteriak pada Aaron. Tentu saja Aaron terkejut dan mencoba untuk tenang kembali.

“Marcus, kosongkan jadwalku setelah ini. Aku ada urusan lain.”

***

Hari Sabtu ini rasanya menyenangkan bagi Lily. Bepergian berdua bersama Juliana, berbelanja, dan sekarang mereka sedang berada di sebuah kedai kopi. Mereka saling mengobrol berdua. Bercanda gurau berdua. Tapi, tidak berdua lagi setelah kedatangan pria di sampingnya ini yang bahkan tak Lily ketahui namanya. Pria yang sama saat di pom bensin kemarin.

Dering ponsel Juliana menyadarkan lamunan Lily. Juliana pun permisi untuk mengangkat teleponnya.

“Lily, Mom minta maaf. Mom harus pergi. Ny. Adeline ingin bertemu dengan Mom. Katanya ia ingin membahas tentang rencana kami membuka usaha kue bersama,” kata Juliana kemudian setelah selesai bertelepon.

“Ya sudah, kalau begitu. Ayo kita pulang!” Lily hendak berdiri mengambil tasnya menyusul Juliana yang sudah berdiri. Tapi, Juliana menghentikannya. Lily hanya menatap Juliana bingung.

“Tidak usah. Kau disini saja. Masih ada barang yang ingin kau beli, kan? Tinggalah di sini. Lagipula, kau juga kedatangan teman,” pinta Juliana dengan halus.

Apa? Teman? Tahu namanya saja tidak, gerutu Lily dalam hati. Justru tadinya ia merasa sangat aman saat sudah ada kesempatan untuk pergi dari sini.

“Mom pulang dulu!”

Akhirnya, mau tidak mau Lily menurut. Dirasakannya, pria itu menjauh dari tempat duduknya dan berpindah ke tempat duduk di depan Lily. “Jadi, apa rencanamu hari ini?” tanya pria di hadapan Lily.

“Bagaimana bisa aku pergi dengan pria yang bahkan aku tidak tahu namanya?” Bibir Lily mengucapkan apa yang sedari tadi di pikirannya. Pria di depannya tersenyum manis menatap Lily. Kemudian, ia malah tertawa geli di depan Lily. Lily hanya menatapnya seperti berkata ‘apa ia gila?’.

“Maafkan aku. Aku lupa mengenalkan diriku sendiri,” kata pria itu setelah tertawa kecil. Kemudian, ia mengulurkan tangannya pada Lily.

“Namaku Aaron,” katanya.

Lily menatapnya sejenak. Kemudian, ia pun membalas uluran tangannya dan berkata, “Lily.”

***

Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang. Semua yang dibutuhkan Lily pun sudah terbeli. Tapi, ia tidak membelinya dengan uangnya sendiri. Tentu saja uang Aaron. Tapi bukan Lily yang memintanya. Aaron memaksanya untuk memakai uangnya saja, jadi apa boleh  buat. Toh, Lily bisa menyimpan uangnya lagi untuk keperluan yang lain.

“Setelah ini kau mau kemana?” tanya Aaron. Kini mereka berjalan berdampingan menuju lantai dasar.

“Tentu saja pulang,” kata Lily cepat.

“Ayo, kuantarkan.” Aaron menawari diri.

Tiba-tiba Lily menghentikan langkahnya dan menghadap Aaron. “Tidak, terima kasih,” tolak Lily. Ia pun berjalan menuju pintu keluar dan berniat untuk naik taksi. Tapi, bukan Aaron namanya kalau ia menyerah. Aaron langsung berlari dan mencengkeram lengan kanan Lily sehingga kini Lily menghadap Aaron.

“Tunggu. Biar aku yang antarkan,” paksa Aaron. Lily hanya menghela nafasnya.

“Dengar. Terima kasih atas tawaranmu, tapi aku tidak bisa. Tidak. Aku tidak mau,” kata Lily memaksakan diri.

Lily menatap Aaron dengan tatapan memohon. Ia sungguh-sungguh memohon agar ia bisa pergi jauh. Lama kelamaan, Aaron melonggarkan cengkramannya pada lengan kanan Lily. Aaron pun mengalah.

“Baiklah, kalau itu maumu,” kata Aaron dengan suara lemas.

“Terima kasih.” Sebagian dari diri Lily berterima kasih pada Aaron.

Lily pun perlahan lahan membalikkan badannya dan mulai berjalan menjauhi Aaron. Tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Mom menelponnya. Lily berhenti sejenak untuk berbicara pada Juliana.

“Mom, sebentar lagi aku pulang. Aku sudahꟷ”

Dad ada di rumah sakit.”

Barang-barang belanjaan Lily terlepas dari genggamannya. Rasanya lemas sekali badannya. Nafasnya tercekat setelah mendengar pernyataan dari Ibunya yang berbicara di telepon sambil terisak-isak. Air mata sudah ada di pelupuk mata Lily. Hanya dalam hitungan detik saja, air mata itu akan jatuh membasahi pipinya yang kedinginan. Badannya bergetar hebat.

Aaron yang melihat Lily menjadi seperti itu langsung menghampiri Lily. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Lily sedang menitikkan air mata.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Aaron dengan nada khawatir. Ia mengguncangkan badan Lily pelan karena Lily tak kunjung menjawab pertanyaan Aaron. Air matanya semakin lama semakin deras.

“Lily, ada apa? Jawab aku!” Suara Aaron mulai meninggi. Tersirat rasa khawatir dalam suara dan tatapan Aaron pada Lily. Lily pun menatapnya perlahan masih dengan air mata yang bergelinangan.

“Dad… My dad…” Rasanya Lily tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi. “Dia ada di rumah sakit sekarang,” kata Lily lemas sambil masih terisak.

Melihat Lily menangis seperti ini membuat Aaron ingin memeluknya untuk menenangkannya. Tapi siapa dia? Dia bukan siapa-siapanya. Mereka hanya kebetulan saja selalu bertemu dan Aaron hanya ingin mengenal dekat dirinya. Tidak lebih. Tapi, sekarang bukan itu yang terpenting. Aaron pun langsung mengajak Lily menuju rumah sakit dimana Ayahnya berada. Semoga tidak terjadi apa-apa pada Ayahnya. Itulah doa mereka selama diperjalanan menuju rumah sakit.

Tbc.
976 words
Wednesday, July 19th 2017

Last Love - Bachelor Love Story #1 [PUBLISHED!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang