"AARON!" Lily yang baru saja meletakkan dua piring sarapan memekik saat melihat Aaron yang bertelanjang dada duduk di kursinya dengan sangat santai. Lily dapat menebak kalau Aaron baru saja mandi. Bahkan, Lily dapat menghirup bau wangi khas Aaron dan melihat tetesan air jatuh dari rambutnya. Dan itu terlihat sexy.
"Pakai pakaianmu, Aaron!" seru Lily membalikkan badannya. Ia tak ingin rona merah di pipinya terlihat di depan Aaron sekarang. Bahkan tadi ia sempat memuji Aaron sexy dan kemudian langsung ia tepis.
"Aku sudah pakai celana panjang, honey," ucap Aaron santai dan menurut Lily itu seperti suara yang ingin menggoda orang.
"Tetap saja, Aaron!" geram Lily. "Sudah kubilang jangan memanggilku honey!" seru Lily sambil berbalik dan ia melihat Aaron yang dengan santainya sedang memakan sarapannya tanpa memperdulikan apa yang dikatakan Lily barusan.
"Kalau begitu, kau harus terbiasa. Ini rumahku. Jadi, aku bebas berbuat apapun." Lily memilih bungkam dan memakan sarapannya saat Aaron berbicara padanya. Ia sudah mengaku kalah.
"Apa kau mengganti shampoomu?" tanya Aaron kemudian saat mereka sudah selesai sarapan.
"Ya, aku hanya ingin mencoba yang baru saja. Aku baru memakainya pagi ini. Kenapa?"
"Aku suka wangimu yang sebelumnya." Aaron seharusnya tahu kalau sekarang Lily bersemu merah, tapi ia menyembunyikannya. Lily hanya diam sambil menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba suasana pagi hari menjadi hening.
Lily berdeham ingin mengatakan sesuatu. "Mmmm... aku minta maaf, karena masuk ke kamarmu tanpa ijinmu," ucap Lily menundukkan kepalanya. Tak tahu kenapa, ia hanya merasa bersalah. "Sebenarnya, tadi pagi aku ingin membangunkanmu untuk sarapan karena kau belum bangun juga. Jadi, aku pergi ke kamarmu. Aku mengetuk pintu kamarmu beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Karena itu aku masuk ke kamarmu." Jelas Lily kemudian.
Suasana menjadi hening lagi. Sejenak, Lily menyesal karena telah menjelaskan panjang lebar pada Aaron, tapi laki-laki itu tak menanggapinya.
Lily mencoba menatapnya dan ia justru menemukan Aaron sedang menatapnya dalam-dalam. "Apa kau marah?" tanya Lily was-was. Tapi Aaron masih saja tak menjawab. Lily membiarkannya. Membiarkan suasana hening sejenak, walaupun ia tak suka.
"Maafkan aku." Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Aaron berbicara. Tapi Lily tidak tahu maksud dari permintaan maafnya itu.
"Untuk apa?" tanya Lily tak mengerti. Tapi Aaron hanya mengacuhkannya dan berlalu pergi. Mata Lily masih mengekori Aaron. Ia sungguh tak mengerti ada apa dengan Aaron pagi ini. Tapi ya sudahlah. Kenapa ia memikirkannya? Lily pun beranjak membersihkan piring dan kemudian menonton tv.
"Aku berangkat." Aaron yang sudah berpakaian rapi dengan jasnya berpamitan pada Lily, hendak berjalan keluar.
"Apa kau benar tidak apa-apa? Kau terlihat kurang sehat pagi ini." Lily bangun dari sofa. Jujur saja, Lily khawatir pada Aaron sekarang. Laki-laki itu tampak kuat, tapi nyatanya Lily baru saja tahu kalau Aaron mimpi buruk tadi malam. Bahkan sampai ketakutan seperti itu.
"Jangan khawatirkan aku," ucap Aaron sedikit ketus kemudian hendak berjalan keluar lagi, tapi lagi-lagi Lily menghentikannya.
"Aku ingin bertanya lagi!" seru Lily. "Siapa Rachel?" tanya Lily. Entah itu mulutnya atau bukan, tapi pertanyaan itu sudah tertanam di otaknya dari tadi. "Kau menyebut nama itu di dalam mimpimu pagi ini." Lanjut Lily.
Aaron tak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia bahkan tak sanggup mengingat wanita itu lagi. Ia baru sadar kalau ternyata ia tidak bisa melupakan wanita itu. Aaron pun pergi meninggalkan Lily dengan pertanyaannya yang belum terjawab.
***
Aaron duduk termangu di kursi kebesarannya. Ia masih teringat tadi ketika Lily menyebut nama wanita yang dicintainya dulu. Rasanya seluruh sarafnya mati rasa tadi ketika Lily menyebut nama itu. Bahkan beberapa malam ini, Aaron juga memimpikan Rachel, yang bahkan sudah 2 tahun ini tidak muncul di dalam mimpinya.
Hari sudah mulai petang, tapi Aaron seperti tak ada keinginan untuk pergi dari kursinya. Ia masih saja duduk di sana memandangi pemandangan Kota New York lewat jendela besar di sampingnya.
Hari ini ia selalu menyibukkan dirinya sendiri. Ia berusaha mencari pekerjaan yang bahkan untuk esok ia kerjakan sekarang. Aaron pikir, jika dirinya sibuk, dia bisa melupakan Rachel. Tapi ternyata usahanya tidak berhasil. Alhasil dia pun bangkit dari kursinya, pergi menembus malam dengan mobilnya.
Sampailah Aaron di klub kesayangannya. Mungkin, alkohol dapat menghilangkan penatnya sekarang. Bahkan Rachel.
"Rupanya ada yang sedang gundah disini." Tiba-tiba James datang dan duduk disamping Aaron. Aaron hanya memandangnya sekilas kemudian kembali meminum gelasnya yang entah sudah keberapa. Hening. Tidak ada yang berkata apapun diantara mereka. Hanya musik elektro yang bersuara.
"Dua hari lagi peringatan kematian Rachel," ucap James tiba-tiba.
Ah, iya. Aaron hampir saja melupakan fakta itu kalau bukan James yang mengingatkannya. Benci memang, tapi Aaron harus mengucapkan terima kasih pada James untuk itu.
"Aku tahu," timpal Aaron menyembunyikan kebohongannya.
"Kukira kau lupa." James memandang Aaron mengejek dan kemudian pergi ke toilet.
***
Rasanya hening sekali penthouse Aaron ini. Lily menonton tv, tapi seperti tidak menontonnya. Ia hanya menerawang jauh ke arah tv. Entah pemandangan apa yang indah bagi matanya sekarang. Tapi yang jelas pikirannya sedang tidak karuan sekarang. Ia masih merasa kesal karena tadi pagi. Aaron pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaannya. Bahkan, pertanyaannya masih tersarang di kepala Lily. Semakin Lily pikir untuk menemukan jawabannya, semakin ia bingung sendiri. Padahal dia anak yang lumayan pintar dan otaknya selalu bekerja cepat. Tapi, sepertinya fakta itu harus dikoreksi lagi.
Tiba-tiba bel pintu berbunyi 3 kali membuyarkan lamunan Lily dan tentu saja mengejutkan Lily. Ia bertanya dalam hati, siapa yang malam-malam begini datang? Kalau Aaron, tidak mungkin ia membunyikan bel pintu penthousenya sendiri. Dengan perasaan was-was, ia pun berjalan kearah pintu dan membukanya pelan.
"Hi, Lily." Ternyata itu James. Tadinya ia ingin berteriak senang karena James yang datang sendirian, tapi ternyata tidak. Ada yang lebih menarik dari James. Lily terkejut melihat Aaron yang sepertinya sedang mabuk sedang digopoh James.
"Bisa minta tolong?" James seperti meminta bantuan untuk menuntun Aaron ke kamarnya. Bahkan, wajahnya sekarang seperti sedang kesusahan karena membawa beban.
"Oh, baiklah." Ucap Lily kemudian yang langsung mengambil lengan kanan Aaron dan kemudian mengalungkannya di leher belakang lalu menuntun Aaron. Dugaan Lily benar. Aaron mabuk. Sekarang ia bisa mencium alkohol dari mulutnya.
Mereka sudah sampai di depan pintu kamar Aaron. Lily membuka pintunya dan kemudian mereka menuntun Aaron sampai ke ranjangnya. Lily menidurkan Aaron di kasurnya dan kemudian menyelimutinya.
"Rachel" Lagi-lagi Aaron bergumam. Entah kenapa, Lily terasa kesal mendengar itu. Kemudian ia pun keluar menyusul James yang sudah keluar duluan tadi dan tak lupan menutup pintu kamar Aaron lagi.
"Maafkan aku, James. Kau sepertinya tidak usah menjelaskan panjang lebar padaku. Besok biar Aaron saja. Lagipula ada banyak hal yang harus kami bicarakan besok." Ucap Lily pada James saat ia sudah sampai di bawah dan duduk di kursi bar samping James.
"Baiklah, aku mengerti. Tapi, kenapa kau yang minta maaf? Aaron mabuk itu bukan salahmu, Lily," timpal James. Lily hanya tersenyum. "Ini sudah malam. Aku harus pulang. Selamat malam, Lily," lanjut James kemudian berpamitan pada Lily.
"Baiklah, selamat malam. Hati-hatidi jalan."
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tbc.
Friday, March 23rd 2018
In media : Emma Stone as Rachel :))
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love - Bachelor Love Story #1 [PUBLISHED!]
Romantizm(COMPLETED - SUDAH DITERBITKAN) First Series of Bachelor Love Story Lily Anandea Jones, hidupnya yang sudah berkelok-kelok, semakin rumit dikala ia terjerat skandal dengan CEO muda nan tampan dan hot se-New York, Aaron Sebastian Audison. Tinggal sea...