32 | Jealous

2.2K 107 0
                                    

Lily menatap dirinya di depan cermin besar. Untungnya, tidak ada siapa-siapa di dalam toilet. Jadi, ini kesempatan emas untuk dirinya berdiam dan menenangkan diri disana.

"Sadarlah, Lily! Sadarlah!" Lily bergumam sendiri, menyadarkan dirinya kembali. Ia memejamkan matanya selama beberapa menit, mencoba menenangkan dirinya, terutama jantungnya. Ia tidak ingin mati karena penyakit jantung. Apalagi itu disebabkan hanya karena kecupan dua detik Aaron di pipinya. Itu sangat konyol.

Setelah beberapa menit dia berdiam diri, akhirnya ia dapat tenang kembali. Kemudian, dia membenahi makeupnya.

Tiba-tiba saja ia teringat oleh keluarganya. Ia rindu mereka. Sudah lama rasanya tidak berbincang-bincang dengan mereka. Diambilnya ponsel dari dalam clutch yang berwarna sama dengan sepatunya. Kemudian ia mencari kontak Ayahnya. Setelah ketemu, ia menekan tombol telpon. Menunggu sambungan, menunggu Ayahnya mengangkat telponnya.

Tidak ada jawaban. Baiklah, kini ia beralih pada kontak Ibunya. Tapi tidak ada jawaban pula. Oke, ini cukup aneh. Setelah itu, ia mencoba menghubungi Aldrich. Setelah nada dering kedua, kakaknya itu baru menjawab. Sesibuk itukah mereka?

"Halo, kak? Bagaimana kabar kalian semua?" Masih hening. Telponnya diangkat, tapi belum kunjung dijawab. "Kak?"

"Mmm... ya, semuanya baik-baik saja. Kau... kau juga, kan?" tanya Aldrich balik. Lily sangat sadar dan yakin 100% kalau ada banyak keraguan yang sangat dapat dirasakan dari penuturan Aldrich. Tapi Lily menepisnya.

"Yah, sejauh ini baik-baik saja," timpal Lily sedikit malas. "Kak, dimana Mom dan Dad? Teleponnya dari tadi tidak aktif."

"M-mom dan Dad? Ah, ponselnya tidak dibawa sekarang. Mereka sedang keluar mencari makan. Ini ponselnya ada di meja."

Malam-malam begini mencari makan? Tidak biasanya. Mom benci keluar malam-malam.

"Rupanya begitu. Kak, apa kau besok ada waktu luang? Aku ingin bertemu kalian. Aku merindukan kalian," ucap Lily sambil sedikit menambahkan nada merengek ala anak kecil. Tapi ia memang benar-benar merindukan keluarganya. Sudah lama mereka tidak bertemu.

"Tidak!" Tiba-tiba saja Aldrich berseru sangat keras. Well, dan itu tidak seperti biasanya. Jelas itu membuat Lily bingung. "Maksudku... aku... beberapa hari ini aku sedang sibuk. Mom dan Dad juga begitu. Lagipula, tak baik untuk kamu pergi sembarangan."

"Sembarangan? Mana ada bertemu dengan keluarga itu sembarangan, Kak?"

"Tidak, bukan begitu. Maksudku, kau itu sudah bersama dengan Aaron. Dia juga pasti sekarang lebih memperhatikan keamananmu, kan? Lagipula, kita juga tidak tahu ada reporter atau tidak di luar sana," jelas Aldrich yang terkesan terburu-buru.

"Kak, kita ini hanya kekasih skandal." Ups, Lily langsung menutup mulutnya kembali. Dia tidak sengaja. Pasalnya, dia kesal sekarang. "Maksudku, kita hanya kekasih. Bukan sepasang suami istri, Kak." Fiuh. Yah, untung saja keluarga Lily saat itu dapat mengerti kondisi Lily dan Aaron saat Lily menjelaskan hubungannya dengan Aaron yang hanya sebatas skandal atau bisa dibilang hanya sementara. Setelah semuanya beres, maka Lily akan kembali. Begitulah rencananya.

"Tapi tetap saja, Lily. Tinggallah bersama Aaron dulu," ucap Aldrich seperti memerintah.

Lily berpikir sejenak. Benar juga. Tapi, untuk memperhatikan keamananku, apa Aaron begitu? Tak tahu. Lily belum merasakannya.

"Baiklah, kalau begitu," timpal Lily lemas. "Ya sudah, aku tutup dulu. Sampaikan salamku pada Mom dan Dad. Katakan kalau aku sangat merindukan kalian."

"Oke, akan kusampaikan."

"Bye." Lily memutus sambungan. Lemah. Letih. Lesu. Belum apa-apa, ia sudah lelah dengan semua ini. Sampai kapan dia harus berbohong? Ia tak tega dengan semua orang yang dibohonginya.

Last Love - Bachelor Love Story #1 [PUBLISHED!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang