"Terima kasih, Susanne. Kau boleh kembali," ucap James pada sekretarisnya setelah menerima berkas-berkas yang ia minta. Kemudian, ia menelitinya satu persatu.
Tiba-tiba, di tengah-tengah keasyikannya dengan berkas-berkas tadi, telponnya berdering. "Halo?" tanya James langsung tanpa melihat siapa yang menelponnya.
"Aldrich?" James menghentikan kegiatannya dan menyimak apa yang dikatakan Aldrich dengan seksama. Sejak pertemuan awal mereka di rumah sakit waktu mengantarkan Lily, Aldrich meminta nomor ponsel pada James. Kata Aldrich, itu hanya jaga-jaga saja jika ada suatu kepentingan. Dan sepertinya inilah kepentingan itu.
"Oke. Aku akan mengantar Lily. Jangan khawatir," ucap James dengan nada serius dan kemudian memutus sambungan. Kini, tatapannya menjadi sendu. Perasaannya bimbang. Tak menentu. Ia harus menyampaikan kabar dari keluarga Lily. Tapi, di lain sisi Ia tidak mau. Katakan saja ia egois, tapi itu untuk kebaikan Lily. Agar Lily tidak sakit saat mendengarnya. James takut menyakiti Lily.
Akhirnya, James sudah membuat keputusan. Walaupun itu akan membuat Lily sedih. Tapi ia harus menyampaikan pesan ini. Dengan cepat, ia meraih mantel dan kunci mobilnya. Kemudian, ia keluar dari kantor sambil berlarian.
Sepertinya James harus menyuruh Aaron membeli rumah yang dekat dengan kota. Perjalanannya ke penthouse Aaron sekarang hampir memakan waktu dua setengah jam. Untung saja jalanan tidak terlalu macet.
James menekan bel pintu tak sabaran. Lily tak kunjung membuka pintu. Jadi James menekannya beberapa kali. Hingga bunyi yang kesekian kali, barulah pintu itu terbuka. Menampakkan Lily yang sepertinya baru saja selesai mandi. Apa Lily baru mandi di jam 12 ini? Ah, biarlah. Bukan itu yang terpenting.
"Ada apa, James? Apa terjadi sesuatu? Kau terlihat... tidak baik," ucap Lily setelah menyadari raut muka James yang sedikit gundah.
"James?" panggil Lily, menyadari James yang mulai diam.
Dengan segenap kekuatan, James mengumpulkan keberaniannya dan kemudian berkata, "Ayahmu sedang kritis di rumah sakit. Tadi kakakmu memberitahuku." Fiuh, akhirnya. Tapi, bukan lega yang ia rasakan. Untuk Lily, shock? Pastinya.
"T-tapi, terakhir kali aku menelpon kakakku, d-dia bilang..." Kalimat Lily menggantung. Matanya buram. Mulutnya tidak bisa mengeluarkan sepatah kalimat. Ia terguncang hebat.
"Sebaiknya kau ikut aku sekarang. Aku akan mengantarmu," ucap James. Lily hanya menurut. Ia mengambil mantelnya dan kemudian ikut dengan James.
Saat ini, ia sudah tidak bisa mendengar apa pun. Ia tidak mendengar apa yang James katakan dari tadi. Ia tidak bisa mendengar bunyi ponsel yang dari tadi berdering, yang bahkan sekarang tertinggal di kamarnya. Ia hanya bisa mendengar hatinya yang selalu berdoa, "Tolong berikan Ayahku umur panjang."
***
"Mom, Dad!" seru Lily setelah memasuki ruang inap Ayahnya tak sabaran. Keluarganya ada di dalam semua. Aldrich langsung berdiri menatap Lily, seperti muncul perasaan bersalah dari dirinya.
"Lily." Tiba-tiba Aldrich menahan Lily untuk maju ke depan, memberi isyarat untuk ikut dengannya keluar. Lily mendongak, menatap sendu kakaknya. Kemudian dia mengikuti kakaknya keluar kamar, bersama James.
"Kenapa kau berbohong padaku, Kak?" tanya Lily ketika mereka sudah sampai diluar. Ia menuntut penjelasan dari kakaknya.
"Sebaiknya aku meninggalkan kalian berdua." James permisi. Tanpa menunggu jawaban kedua kakak adik itu, James langsung pergi.
"Kak, jawab aku!" desak Lily.
"Lily, aku bisa jelaskan padamu. Tapi aku mohon kau jangan marah," timpal Aldrich memohon.
"Baiklah. Aku janji. Jadi, bisa kau jelaskan padaku sekarang tentang kondisi Ayah yang kata Kakak baik-baik saja itu?" Lily semakin tak sabaran.
Aldrich menghela nafasnya pasrah. Ini memang salahnya, jadi dia yang harus bertanggung jawab sekarang."Malam sebelum Dad dibawa kesini, Dad pingsan. Untungnya saat itu aku masih ada dirumah. Jadi aku segera bawa Dad kesini." Aldrich menerawang kejadian malam yang menjadi alasan Ayahnya ada disini.
"Setelah diperiksa dokter, Dad sakit gagal ginjal. Kau masih ingat, kan, pertama kali Dad pingsan? Kata dokter, Dad bisa pingsan kapan saja. Apalagi kalau sedang banyak pikiran atau bekerja terlalu keras," jelas Aldrich.
"Dad harus segera mendapatkan transplantasi ginjal. Mom sudah tahu sejak awal, tapi Mom menyembunyikan semuanya. Hingga seminggu yang lalu, akhirnya Mom menceritakannya padaku."
"Bagaimana ini bisa terjadi?" Kini Lily benar-benar tak bisa berpikir jernih. Aldrich bilang Ayahnya sakit gagal ginjal, yang selama ini tidak Lily ketahui. Aldrich bilang Ayahnya harus segera dioperasi, harus segera mendapatkan transplantasi ginjal.
"Maafkan aku Lily. Ini salahku. Ini keputusanku karena tidak memberitahumu. Aku takut. Saat itu kau terlihat bahagia. Aku tidak mungkin menghancurkan kebahagiaanmu dan membuatmu khawatir karena kami," tutur Aldrich penuh dengan penyesalan dan kesedihan.
"Bagaimana bisa aku terlihat bahagia kalau Dad sakit seperti ini, Kak? Justru kau yang malah membuatku khawatir karena menyembunyikan kondisi Dad sekarang ini. Kau membuatku seperti orang kejam, seperti orang yang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, dan kenyataan bahwa orang lain itu adalah Dad itulah membuatku semakin terpuruk." Lily terisak.
Lalu tiba-tiba saja ia menjadi merasa bersalah dan tak adil pada keluarganya. Pasalnya, dia masih menyembunyikan fakta tentang hubungannya dengan Aaron. Dan sekarang, ia sudah tidak bisa menahannya lagi.
"Kak, aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian." Sebenarnya ada keraguan, tapi Lily sudah membulatkan tekadnya. Ia harus mengatakan yang sebenarnya. Sebelum semuanya terlambat.
"Hubunganku dengan Aaron... hanya tipuan belaka. Kami... berbohong." Sakit rasanya saat Lily mengatakan hal ini. Ia sempat berpikir apakah ini tindakan yang benar? Ia ingin mendengar seseorang mengatakan 'Ya, yang kau lakukan benar, Lily'. Tapi tidak seorangpun mengatakan itu padanya sekarang.
PYARR!
Disana, Juliana berdiri membeku menatap Lily. Pecahan kaca dari gelas berserakan.
"Mom," lirih Lily.
"Apa itu benar, Lily? Bahwa kau menipu kami semua?" tanya Juliana tiba-tiba. Lily seakan-akan tertusuk oleh kebohongannya sendiri dan dikoyak oleh sebuah fakta. Inilah yang ia takutkan.
"Mom... ak-aku bisa jelaskan pada Mom." Lily memohon, menggenggam kuat tangan Juliana yang sedikit gemetar.
"Kenapa kau tega melakukan ini semua pada kami semua, Lily? Kau tidak hanya membohongi kami. Tapi juga semua orang. Kalian menipu orang yang sudah memberikan kepercayaan pada kalian. Walaupun Mom tidak selalu ada untukmu selama ini, tapi ini bukanlah yang Mom harapkan dari kamu, Lily!" ucap Ibunya, membuat Lily terdiam karena merasa sakita saat ibunya mengatakan itu, termakan kebohongannya sendiri.
"Aku akan mengatakan semuanya. Aku akan jujur pada mereka." Lily tahu dia tidak sadar saat mengatakan itu. Tentu dia harus bertanggung jawab dengan perkataannya barusan.
"Lily!" Ditengah-tengah heningnya suasana, dari arah belakang Lily, James berseru dan Lily kemudian menoleh ke belakangnya.
"Kita harus pergi sekarang!"
———————————————————————————
Tbc.
Sunday, 23rd December 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love - Bachelor Love Story #1 [PUBLISHED!]
Dragoste(COMPLETED - SUDAH DITERBITKAN) First Series of Bachelor Love Story Lily Anandea Jones, hidupnya yang sudah berkelok-kelok, semakin rumit dikala ia terjerat skandal dengan CEO muda nan tampan dan hot se-New York, Aaron Sebastian Audison. Tinggal sea...