Sinar matahari menyeruak masuk menembus tirai jendela kamar Lily, memaksa kedua kelopak mata Lily terbuka. Dengan masih bermalas-malasan, Lily bangun dari mimpi indahnya, dan mulai merenggangkan badannya.
Jam sudah menunjukkan jam 8 pagi. Kesiangan memang. Padahal biasanya Lily bangun jam 5 pagi. Tapi jangan salahkan Lily atau menganggap Lily pemalas. Bukan seperti itu. Justru yang sebenarnya, ini salah Aaron. Laki-laki itu menjadikan alasan Lily yang hari ini libur agar mereka bisa menghabiskan waktu semalaman.
Tadi malam, setelah selesai dengan dinner mereka, Aaron mengajak Lily untuk ice skating. Awalnya, Lily menolak karena ia tidak bisa, tapi Aaron tetap memaksanya. Aaron memang menuntun Lily bermain, tapi karena yang namanya Aaron, tak jarang ia menggoda Lily, membuat Lily jatuh terpeleset beberapa kali. Alhasil, pagi ini badannya pegal semua.
Lily berniat untuk tidak langsung mandi. Ia kelaparan pagi ini. Perutnya sudah tidak bisa dikontrol lagi.
Suasana rumah terlihat sangat sepi saat Lily turun. Tapi ia tak mempedulikannya. Rumah ini memang selalu sepi. Dengan langkah gontai, Lily membuka kulkas berniat melihat bahan apa yang bisa ia pakai untuk masak pagi ini. Tapi, belum ia melihat isi kulkasnya, ia menutup kembali kulkas itu dan melihat secarik kertas persegi kecil berwarna kuning tertempel di pintu kulkas. Sambil mengerutkan keningnya, ia mengambil kertas itu dan membacanya.
Good morning, honey. Wkwkwk. Aku harap kau mimpi indah tadi malam. Aku sudah berangkat pagi sekali, karena ada urusan mendadak di kantor. Aku harap kau memakluminya. Kalau kau lapar, kau bisa mengambil bahan makanan yang sudah ada di kulkas. Kau bisa masak, kan? Aku akan usahakan pulang lebih awal. -A.
Itu pesan dari Aaron. Rupanya laki-laki itu sudah pergi daritadi. Tak heran mengapa rumah sepi sekali.
"Ternyata tulisan tangannya jelek sekali," gumam Lily memandangi tulisan-tulisan di atas kertas kecil kuning itu. Tulisan Aaron memang jelek. Aaron juga mengakui itu. Tapi itu bukan syarat untuk menjadi CEO, bukan? Jadi Aaron tidak mempermasalahkannya.
Lily tersenyum sendiri. Ia membaca pesan itu beberapa kali. Lily tidak menyangka Aaron akan repot-repot menulis pesan untuknya, padahal dulu-dulu tidak. Kenapa baru sekarang? Bahkan Lily sekarang sudah tidak kesal setiap kali Aaron memanggilnya dengan honey. Malahan, ia jadi tersipu setiap dipanggil seperti itu.
Sebenarnya aku yang terlalu berharap atau kau yang memang menjadi lebih perhatian padaku? Sepertinya kau akan membuatku jatuh, Aaron Sebastian Audison.
***
Tok tok tok.
"Masuk," ucap Aaron tanpa mengalihkan tatapannya dari kertas-kertas yang sedang digarapnya. Masuklah seorang laki-laki yang seumuran dengan Aaron dengan pakaiannya yang rapi dan juga sebuah koran di tangan kanannya.
"Sir." Ternyata itu Marcus, sekretaris utama Aaron yang merangkap sebagai asisten pribadi Aaron dan juga kaki tangan Aaron.
"Ada apa, Marcus?" Aaron belum mengalihkan pandangannya.
Marcus terlihat seperti sedang bimbang. Tadinya, ia masuk ke sini berniat untuk memberikan kabar pada Aaron. Bukan kabar baik. Melainkan kabar buruk. Tapi, setelah beberapa detik dia diam sambil berpikir keras, akhirnya ia berani menyerahkan koran pagi itu ke meja Aaron. Tepat di depan pandangan Aaron.
Aaron mengernyit dan memandang bingung Marcus yang terdiam. Kemudian ia bertanya, "Apa ini?" Tapi, tanpa menunggu jawaban Marcus, yang sepertinya Marcus tak ingin menjawab, Aaron mengambil koran itu dan langsung membacanya dengan teliti.
Seketika amarah langsung menghinggapi diri Aaron. Rahangnya mengeras seperti orang menahan marah yang akan meluap. Giginya gemertakan seperti orang yang sudah siap akan membentaki siapa pun. Belum selesai artikel itu dibaca, koran itu sudah teremas tak berbentuk di tangan Aaron dan kemudian terbuang entah kemana.
"Sialan!" Umpatanlah yang bisa keluar dari mulut Aaron sekarang bebarengan dengan Aaron yang berdiri dengan gusar dan mengusap wajahnya frustasi. Tangannya kemudian ia kepal dan kemudian memukul mejanya, tak mempedulikan rasa sakit yang muncul. Daripada rasa sakit, rasa marahlah yang sekarang mendominasi dirinya.
"Maafkan saya, saya baru tahu tadi pagi. Saya akan berusaha untuk mencari tahu siapa dalang dibalik semua ini." Marcus meminta maaf dengan tegas dan kepala tertunduk.
Aaron mengarahkan tatapan tajamnya ke Marcus. "Kenapa kau minta maaf, ha? Ini bukan salahmu! Daripada minta maaf padaku, carilah siapa pembuat masalah ini! Cari siapa yang sudah membongkar ini!" bentak Aaron. Walaupun ia tidak berniat untuk membentak Marcus kasar, karena Marcus memang tidak berhak untuk minta maaf atas apa yang tidak dia lakukan. Tapi apa daya. Amarah sudah mengendalikan Aaron.
"Baik, Sir," timpal Marcus. Ia hendak keluar, tapi kemudian ia berhenti dan bertanya, "Lalu, bagaimana dengan Nona Lily, Sir?"
Aaron menoleh pada Marcus. Bagaimana ini? Aaron juga belum menemukan solusinya untuk mereka berdua.
"Biar nanti aku saja yang urus," ucap Aaron ketus. Kemudian Marcus pun keluar.
Selepas Marcus keluar, Aaron duduk di kursi kebesarannya, menyandarkan kepalanya. Aaron harus berusaha untuk tidak marah. Dia sudah berjanji pada dirinya dan juga pada Rachel. Dia tidak akan melanggarnya. Sialan. Siapa orang yang berani-beraninya membangunkan singa yang sudah tidur? Orang itu perlu diberi pelajaran.
Koran itu. Berita itu. Di dalamnya mereka membahas tentang Aaron dan Lily lagi. Tapi bukannya tentang hubungan romantis mereka berdua, media justru menulis apa yang seharusnya tidak mereka ketahui, apa yang seharusnya tidak mereka tulis. Ya, berita itu memberitakan tentang hubungan palsu Aaron dan Lily. Mereka menulis kalau Aaron dan Lily selama ini sudah berbohong tentang hubungan mereka. Tentu saja berita itu mengejutkan Aaron. Ia tak habis pikir, bagaimana ada orang yang mengetahuinya?
Baik, tentang hubungan mereka yang palsu itu, memang itu tidak seperti hubungan sepasang kekasih pada umumnya. Pada awalnya, Aaron berpikir seperti itu. Tapi lambat laun, entah kenapa rasanya mereka seperti sudah saling menerima satu sama lain, rasanya seperti mereka ini memang benar-benar sepasang kekasih. Dulu, memang Aaron yang membuat perjanjian ini, demi nama baiknya. Tapi, rasanya sekarang nama baik itu sudah seperti tidak ada artinya.
Di samping itu, ada poin penting yang diambil Aaron dari berita itu. Media mempertanyakan apa seluruh hal-hal romantis dari Aaron pada Lily yang tertangkap kamera selama ini hanya tipuan belaka pula. Pasalnya, mereka melihatnya seperti memang apa adanya. Itulah yang dirasakan Aaron juga. Aaron tulus melakukan semua hal pada Lily. Disaat ia dan Lily melakukan semua hal bersama, Aaron merasa ia dan Lily memanglah sepasang kekasih. Bahkan beberapa kali Aaron lupa kalau mereka terikat janji. Sebuah janji bodoh yang dibuat oleh Aaron yang saat itu ia sedang tidak berpikir jernih. Aaron meringis saat mengingatnya.
Tapi, bagaimana dengan Lily? Apa Lily merasakan hal yang sama dengan Aaron? Apa Lily selalu merasa mereka ini memang sepasang kekasih pada umumnya? Tapi, diantara pertanyaan-pertanyaan itu, satu pertanyaan yang sangat ingin ia dengar jawabannya sendiri dari Lily, Apa Lily pernah satu kalipun ingin menjadi kekasihku?
Argh. Ini membuatnya sangat pusing. Lagi-lagi ia tidak bisa berpikir. Memikirkan pertanyaan-pertanyaan tadi membuatnya sakit. Bukan sakit yang biasa. Entahlah. Sakit ini tidak berdarah, tapi susah disembuhkane.
"Siapapun itu yang sudah mengusikku dan Lily, akan kutemukan dan akan kuhancurkan dia."
——————————————————————————
Tbc.
Sunday, 16th December 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love - Bachelor Love Story #1 [PUBLISHED!]
Romance(COMPLETED - SUDAH DITERBITKAN) First Series of Bachelor Love Story Lily Anandea Jones, hidupnya yang sudah berkelok-kelok, semakin rumit dikala ia terjerat skandal dengan CEO muda nan tampan dan hot se-New York, Aaron Sebastian Audison. Tinggal sea...