37 | It Has to be Done

2.1K 102 0
                                    

"Aku tidak menemukannya." Devian masuk ke kantor Aaron setelah tadi melewati lautan manusia yang rata-rata semuanya adalah wartawan. Ya, semenjak berita terkuaknya hubungan Aaron dan Lily di media, para wartawan langsung mengerubungi kantor Aaron. Usaha Aaron untuk pergi menjemput Lily pun harus tertunda. Sehingga ia harus meminta Devian untuk pergi ke penthousenya menjemput Lily.

"Apa?" pekik Aaron berdiri dari kursinya dengan geram. Di otaknya, ia bertanya-tanya kemana Lily pergi.

"Dia tidak ada di penthousemu. Ponselnya saja ia tinggal di kamar," ucap Devian sambil menyerahkan ponsel Lily ke atas meja Aaron. Pantas saja, daritadi Aaron menelpon dan mengirimi Lily pesan tidak ada satupun yang terbalas. Lihat saja di layar ponselnya, 31 panggilan tak terjawab dan 16 pesan masuk.
​Kesal. Marah. Geram. Frustasi. Lelah. Semuanya tercampur menjadi satu.

"Aaron!" Tiba-tiba sebuah suara milik seseorang yang sedang ia pikirkan muncul memekik, memanggil Aaron panik. Di depan pintu, Lily berdiri dengan perasaan yang mungkin sama dengan Aaron sekarang.

"Darimana saja kau?" Aaron bertanya menghampiri Lily dengan langkah lebarnya. Kemudian ia berhenti, menyadari seorang laki-laki yang datang bersama Lily. Itu James. Timbullah pertanyaan lain di kepala Aaron. "Kenapa kau bisa datang dengannya?"

Lily menatap James dan Aaron bergantian, kemudian berkata, "Itu bukan yang terpenting sekarang, Aaron. Dia–"

"Sekarang itu penting, Lily!" seru Aaron dengan suara tingginya, membuat Lily terkejut. "Aku tidak tahu kau pergi kemana sampai kau bisa-bisanya meninggalkan ponselmu di kamar. Dan... dan sekarang kau ternyata pergi dengannya!"

"Aku tadi ada urusan mendadak sehingga membuat aku pergi terburu-buru dan kelupaan membawa ponselku. James hanya mengantarku." Lily berusaha menjelaskan pada Aaron dengan setenang tenangnya, memendam amarahnya.

Dengan meninggikan suaranya, Aaron berseru, "Urusan apa yang lebih penting daripada urusan hubungan kita sekarang, Lily?"

"Ayahku sakit, Aaron! Dan urusan itu menjadi lebih penting di atas semua urusanku!" Karena saking kesalnya, Lily balas membentak Aaron.

"Ayahku butuh dioperasi secepatnya. Aku... aku seperti orang jahat yang beberapa hari ini tidak mengetahui Ayahnya yang sakit sudah sejak seminggu yang lalu. Dan lebih parahnya lagi... aku malah bersenang-senang saat Ayahku terbaring lemah di rumah sakit." Lily sudah tidak dapat membendung air matanya.

Sekarang dia terlihat lemah, padahal ia tidak suka itu. Ia tidak menyangka, dalam sehari masalah bertubi-tubi menimpanya. Sepertinya ini tidak sebanding dengan masalahnya dulu disaat ia dilibatkan skandal dengan Aaron pertama kalinya.

Aaron yang tadinya sudah terkejut, kini semakin terkejut ketika Lily menangis terisak di depannya. Ini pertama kalinya ia melihat Lily menangis seperti itu. Dan itu membuat Aaron sakit melihatnya. Aaron ingin menarik wanita di depannya itu ke pelukannya. Tapi saraf-sarafnya seperti tak bisa melaksanakan kehendak hati Aaron.

"Lily, tenangkan dirimu." James mencoba menenangkan Lily dengan memeluk bahunya, mencoba menghentikan tangis Lily. "Aaron, tolong mengertilah kondisi Lily. Dia sudah terpuruk. Tolong jangan tambah memperburuk suasana hatinya." Kini, James memohon pada dirinya.

Di dalam hati, Aaron marah melihat perlakuan manis James pada Lily. Dan Lily hanya diam menerimanya. Tapi akal sehatnya masih bisa berfikir jernih. Benar yang dikatakan James. Bahkan, tanpa James memohon pun, jika Aaron tahu kondisi Lily sejak awal, ia tidak akan marah pada Lily seperti tadi. Ia jadi merasa bersalah.

"Aaron, kita harus segera menyelesaikan ini sekarang." Devian membuyarkan lamunan Aaron.
​Aaron sadar. Ini memang harus segera diselesaikan.

***

"Bagaimana?" tanya Arriane pada seorang wanita di depannya yang berprofesi sebagai asisten pribadi Arriane.

​"Semua media sudah ramai membicarakan hubungan Aaron dan Lily. Tak satupun media yang tak membicarakan mereka. Semua berjalan dengan sempurna." Sekretaris itu melaporkan hasil kerjanya yang tentunya membuat Arriane tersenyum puas.

"Sekarang, tinggal bagaimana caranya aku menghancurkan perusahaan Aaron. Semua dendamku harus terbalaskan nanti," ucap Arriane dengan nada sarkasmenya.

"Sepertinya rencanamu tidak akan berjalan lancar, Arriane." Tiba-tiba seorang laki-laki datang menginterupsi. Laki-laki itu dari masa lalu Arriane. Sebenarnya, saat pertama kali mereka bertemu malam itu, mereka sudah saling mengetahui. Tapi sejak saat itu mereka belum pernah buka mulut sama sekali. Hingga sekarang.

"James." Arriane berdiri terkejut, memandang James garang sekaligus tak percaya. "Apa yang kau lakukan disini?"

"Tolong tinggalkan kami berdua." James berkata pada sekretaris Arriane yang kemudian diturutinya.

"Apa yang kau lakukan, James? Dia sekretarisku. Jadi kau tidak berhak–"

"Dan kau tidak berhak untuk mengambil sesuatu yang bukan milikmu." James berucap tak kalah ketusnya.

Arriane terbungkam karena James. Tangannya mengepal menahan amarah yang sudah ada di ujung kepalanya.

"Hentikan semua rencana busukmu itu, Arriane. Aku sudah tahu semuanya."

"Ini semua tidak ada urusannya denganmu, James. Jangan menghalangiku."

"Sekarang ini menjadi urusanku, karena Aaron temanku."

"Dia bukan temanmu! Dia sudah mencampakkanmu dulu, James. Apa kau sudah lupa dulu saat kita bertemu pertama kalinya di London? Kau marah karena dia mencapakkanmu dan Rachel, kan? Mereka mencampakkanmu! Begitu pula dengan keluargaku, James!" pekik Arriane geram.

"Dia memang mencampakkanku. Tapi aku tetap menganggapnya teman. Lupakan dendammu dulu, Arriane. Kau sudah berjanji padaku dulu!"

"Cih, janji itu sudah tidak berguna lagi, James! Janji itu sudah busuk!"

James mendengus menanggapi sikap keras kepala teman lamanya itu. "Arriane, balas dendam tidak akan meredakan masalah. Semua justru semakin rumit nanti. Orangtuamu disana yang melihatmu seperti ini tidak akan merasa bangga padamu," ucap James lirih, meredakan amarahnya tadi.

Arriane lagi-lagi terdiam. Tapi bukan diam karena pasrah. Di dalam hati, ia marah besar. Ia marah karena berani-beraninya James membicarakan orangtuanya di depan dia seperti itu. Ia tidak bisa terima.

"Kau tidak tahu apa-apa, James. Berhentilah menceramahiku," ucap Arriane dengan suara yang menahan amarah.

"Aku temanmu, Arriane."

"Jika kau temanku, kau tidak akan menghentikanku!"

"Aku melakukannya demi kebaikanmu."

"Aku tahu mana yang baik untukku. Pergilah, James." Sebelum James berkata lebih banyak lagi, Arriane mengusir James. Ia menjadi jengah.
​"Baiklah, aku pergi. Tapi aku mohon padamu, tolong jangan bertindak gegabah. Berpikirlah sebelum kau bertindak, Arriane. Kalau kau butuh aku, hubungi saja aku." James pergi dengan damai. Ia mengalah. Tapi di dalam hati, ia selalu berharap yang terbaik untuk temannya itu. Karena mereka adalah teman.
—————————————————————————
Tbc.
Sunday, 30 December 2018

Last Love - Bachelor Love Story #1 [PUBLISHED!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang