Seperti biasa, perjalanan terasa sangat sunyi. Tapi yang berbeda hanyalah diri mereka masing-masing. Lily sedari tadi hanya cemberut merasa kesal karena ulah Aaron tadi. Sedangkan Aaron, dia tak henti-hentinya tersenyum sendiri seperti orang bodoh. Sesekali dia juga melirik pada Lily yang sama sekali tak memiliki niat untuk menatap balik Aaron.
"Turunkan aku di halte bus itu," ucap Lily tiba-tiba sambil menunjuk kearah halte bus di depannya.
Aaron yang tadinya sempat terkejut, kini menjadi penasaran. "Kenapa? Kau tinggal katakan saja–"
"Sssss." Lily menatap Aaron garang, membuat Aaron langsung terbungkam. "Turuti saja apa kataku."
Dengan wajah yang agak ditekuk, akhirnya Aaron menurut. Ia menepikan mobilnya tepat di depan halte bus. Tanpa berkata-kata, Lily langsung saja keluar. "Hei! Kau tidak akan bilang padaku kau mau pergi kemana?" pekik Aaron dari dalam mobil. Kini ia mulai kebingungan dengan sikap Lily yang seperti ini. Wanita memang sulit dimengerti.
"Bukan urusanmu. Lagipula kau harus berangkat kerja. Akan kukirim pesan nanti kalau aku sudah pulang. Kau tidak perlu menjemputku," timpal Lily yang yang harus menunduk agar bisa melihat Aaron.
"Tapi–"
"Pergilah, Aaron!"
Sebenarnya, Aaron sangat tidak ingin meninggalkan Lily sendirian. Tapi akhirnya, dengan setengah kerelaannya, ia harus menuruti Lily juga. Sedangkan Lily, ia merasa sangat lega sekarang. Niatnya tadi hampir saja digagalkan Aaron. Untung saja Aaron memilih untuk pergi. Jadi Lily tidak perlu bertele-tele lagi untuk berbohong.
Sejam kemudian, bus datang. Seharusnya perjalanan memakan waktu lama. Tapi, karena jalanan tidak macet, Lily hanya menghabiskan waktunya di bus selama satu setengah jam.
Lily melangkahkan kakinya dengan pasti masuk ke tempat itu. Lonceng yang digantung di pintu berbunyi keras, menandakan ada pengunjung datang.
"Selamat pagi, Ma'am. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang resepsionis dengan sopan.
"Aku ingin bertemu dengan Dr. Clinston."
"Apa Ma'am sudah ada janji temu?" tanya resepsionis itu lagi.
"Belum."
"Baiklah. Tolong tunggu di ruang tunggu dulu, Ma'am. Nanti akan saya panggil giliran Anda," ucap resepsionis tadi sambil menunjuk ke sebuah ruangan kecil di samping tempat Lily berdiri.
Pengunjung yang biasa disebut dengan pasien sudah banyak yang menunggu disana. Padahal hari masih pagi. Mereka tentunya datang dengan satu tujuan. Berobat. Begitu pula dengan Lily.
Satu persatu, orang-orang yang tadi duduk di sekeliling Lily berkurang. Tapi, beberapa orang juga masih ada yang berdatangan. Jam sudah menunjukkan jam 11, Lily belum dipanggil-panggil juga. Mungkin, sekarusnya dia membuat janji terlebih dahulu. Tidak seperti sekarang.
"Ms. Lily." Akhirnya, waktu untuk Lily pun datang. Resepsionis yang tadi memanggil nama Lily dan menuntun Lily ke dokter yang dimaksud.
"Good morning, Mrs. Lily," sapa dokter wanita paruh baya di depannya. Kalau boleh jujur, walaupun mungkin dokter wanita di depan Lily sudah berumur, tapi tampilannya masih elegan dan juga cantik. Sejenak, Lily terpana dengan itu.
"Morning, dokter." Lily menerima jabatan dokter wanita itu.
"Jadi, apa yang membuat wanita cantik sepertimu datang ke dokter psikologis sepertiku? Kau bahkan terlihat... sehat... daripada pasien-pasien sebelummu."
Lily cengingisan menimpali dokter wanita yang sering disapa dengan nama Dr. Clinston itu. "Mmmm... sebenarnya ini terdengar aneh... dan gila. Tapi aku tak bisa selalu memendamnya terus,"ucap Lily yang langsung dimengerti Dr. Clinston.
"Dan... apa tepatnya hal aneh dan gila itu?"
"Jadi, mmm..." Kata-kata Lily menggantung. Ia berusaha menyusun kalimatnya agar tidak terdengar aneh. Untungnya, Dr. Clinston masih sabar menunggu.
"Jadi, selama beberapa malam ini, secara berturut-turut, aku selalu memimpikan hal yang sama. Jujur, itu bisa membuatku gila. Karena dia... laki-laki itu selalu hadir di dalam mimpiku. Memberiku mimpi indah setiap malam. Selain itu, apa yang dilakukannya dalam mimpiku selalu sama. Mencium keningku lembut dan kemudian mengucapkan selamat malam. Anehnya, itu terjadi di mimpi, tapi aku selalu bisa merasakannya secara nyata. Aku selalu merasa kalau itu semua nyata." Setelah beberapa detik diam, akhirnya ia bisa menuturkan keluhannya panjang lebar.
Sebagai dokter, Lily mengerti kalau Dr. Clinston langsung mengerti apa yang ia katakan. Tapi, apa yang membuat Lily tak mengerti, adalah sesaat setelah itu Dr. Cinston bertanya, "Apa kau mengharapkannya?"
"Ap-Apa?"
"Well, aku sering mendengar keluhan tentang cinta dan tentunya berasal dari orang yang sedang jatuh cinta. Tapi, ini kali pertama bagiku mendengar keluhan seperti keluhanmu,"ucap Dr. Clinston sambil tertawa kecil. Sedangkan Lily masih terdiam berniat untuk menyimak.
"Ada dua hal yang bisa kita ambil dari keluhanmu itu, Mrs. Lily. Pertama, jelas kau mencintainya. Kedua, yang jika kuyakini 99% bahwa laki-laki yang ada di mimpimu juga membalas perasaanmu. Hanya saja, mungkin dia belum menyadarinya atau mungkin dia belum berani mengatakannya padamu."
Lily masih terdiam mendengarkan Dr. Clinston. Sungguh, apa yang dikatakan Dr. Clinston barusan membuatnya shock. Ia tak pernah sekalipun memiliki anggapan kalau Aaron mencintainya. Lily saja masih belum bisa memahami perasannya sendiri.
"Dalam kasusmu ini, sebenarnya tidak ada yang aneh atau gila," ucap Dr. Clinston menahan tawanya, membuat Lily malu sendiri.
"Menurutku, jika diteliti, ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, itu memang benar mimpi. Alasannya, karena kau menyimpan rasa pada laki-laki itu, dan juga begitu pula sebaliknya. Atau, kau menyimpan rasa padanya tapi dia tidak, sedangkan kau berharap lebih padanya," tutur Dr. Clinston.
"Apa kemungkinan keduanya, Dok?" tanya Lily tak sabaran.
"Kemungkinan yang kedua, laki-laki yang ada di mimpimu itu memang sebenarnya datang ke kamarmu setiap malam setelah kau tidur dan seperti yang kau ceritakan tadi." Jelas Dr. Clinston.
Lily menganga. Dia tentu terkejut. Bagaimana kalau kemungkinan kedua-lah yang memang terjadi? Bisakah Lily berharap itu benar?
"Mom!" Tiba-tiba seorang laki-laki yang seumuran dengan Lily masuk tanpa mengetuk pintu. "Oh, maaf. Aku kira—Lily!?"
"Luke?" Oh, Lily baru menyadarinya sekarang. Clinston. Luke Clinston. Sarah Clinston alias Dr. Clinston.
—————————————————————————
Tbc.
Wednesday, 20 Februari 2019Terima kasih semua yg sudah mau membaca dan nunggu ceritaku yg masih acak2an iniiiii☺️☺️☺️ love you all😘😘

KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love - Bachelor Love Story #1 [PUBLISHED!]
Roman d'amour(COMPLETED - SUDAH DITERBITKAN) First Series of Bachelor Love Story Lily Anandea Jones, hidupnya yang sudah berkelok-kelok, semakin rumit dikala ia terjerat skandal dengan CEO muda nan tampan dan hot se-New York, Aaron Sebastian Audison. Tinggal sea...