48 | Aaron's Anger

1.9K 103 1
                                    

​"Kau benar-benar tidak mau mengatakannya padaku, ya?" tanya Luke yang daritadi masih saja mendesak Lily untuk mengatakan apa yang ia keluhkan pada ibunya.

"Ayolah, Luke. Itu bukan masalah besar," timpal Lily.

Luke mendengus. "Baiklah kalau kau tidak mau mengatakannya. Itu juga privasimu." Luke mengalah. Lily hanya tersenyum lega mengetahui Luke yang biasanya tidak mau mengalah dulunya, sekarang mengalah pada Lily semudah itu.

"Omong-omong, ada keperluan apa kau dengan ibumu?" tanya Lily kemudian.

"Urusan ibu dan anak, seperti biasa."

"Jadi, aku baru tahu kalau kau playboy manja," canda Lily.

"Aku tidak manja!"

​"Hahaha. Tapi sayangnya orang yang tidak mengenalmu dengan baik akan menganggapmu seperti itu," tawa Lily keras. Bahkan tawanya semakin keras saat melihat Luke yang kesal dikatakan seperti itu. Tapi, bukannya membalas, Luke malah menyusul tawa Lily. Mereka tertawa keras tak mempedulikan tatapan-tatapan tak nyaman dari para pengunjung. Terutama seorang pengunjung laki-laki yang duduk sendirian di ujung café itu.

Tawa mereka akhirnya mereda. "Sepertinya kau masih humoris seperti dulu, Luke. Aku suka itu," ucap Lily kemudian. Sedangkan Luke hanya menimpalinya dengan endikan bahu dan kemudian menyesap kopi panasnya.

"Sebagai teman, kau tidak mau membicarakan apapun tentang temanmu yang sudah lama tak jumpa ini, hm?" lanjut Lily.

"Banyak. Ada banyak hal yang kupendam sejak dulu," timpal Luke. Satu hal yang tak disadari Lily, adalah perubahan mimik wajah dan gaya bicara Luke sekarang. Mungkin, bagi Lily ini candaan. Tapi tidak bagi Luke.

"Apa saja itu?"

"Kau yakin mau mendengarnya?"

​"Ya, tentu saja. Aku temanmu, jadi aku ingin mendengarkan semua hal yang kau pendam itu."

"Itulah yang tidak kusukai," ucap Luke cepat. "Aku tidak suka menjadi temanmu. Aku benci setiap kali kau hanya menganggapku menjadi temanmu."

"Apa? Apa maksudmu? Kau benci menjadi temanku?" Tersirat kekecewaan di dalam nada bicara Lily. Ia bingung sekaligus tak percaya dengan apa yang dikatakan Luke barusan.

​"Ya. Aku benci jika kenyataanya aku hanyalah sebatas teman untukmu selama ini," timpal Luke dengan serius sambil sesekali menerawang masa lalunya bersama Lily dulu.

Masa-masa dimana mereka selalu menghabiskan waktu bersama di SMA, yang tentunya membuat Luke selalu senang menghabiskan waktu bersama dengan Lily. Kapanpun dan dimanapun. Lily hanya duduk terdiam di depannya. Ia masih mencerna kalimat Luke, mencoba memahami Luke, sahabatnya sekaligus cinta pertamanya dulu.

"Apa kau tahu alasan aku mendekatimu dulu, disaat tidak ada orang yang mendekatimu? Apa kau tahu kenapa aku ingin selalu menghabiskan waktu bersamamu? Apa kau tahu alasanku untuk menjadi dokter dan menjadi sukses seperti sekarang? Apa kau tahu alasanku pergi ke New York secepatnya?"

Lily masih terdiam. Ia menyimak. Ia menunggu. Hatinya pun juga menunggu.

"Dari awal, kau sudah mencuri perhatianku. Diantara semua wanita yang pernah dekat denganku, hanya kau yang spesial. Kau berbeda dari yang lainnya. Aku menyadari itu."

"Luke."

"Kau tahu, kan, apa cita-citaku? Tentunya bukan dokter. Tapi waktu itu kau bilang padaku kau suka seorang dokter. Kau bilang seorang dokter yang mampu menolong pasien itu lebih keren dari yang lainnya. Jadi, kemudian aku bilang padamu kalau aku bercita-cita menjadi dokter."

Last Love - Bachelor Love Story #1 [PUBLISHED!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang