1.Ruang dan waktu

14.3K 467 16
                                    

Alina menguap beberapa kali, rasa kantuk ini tak bisa ia pungkiri. Bekerja sebagai bidan dirumah sakit umum membuatnya tak bisa mengikuti jam kerja normal, terkadang pagi hingga sore, sore hingga malam dan yang terburuk adalah malam hingga pagi menjelang. Dan hari ini jam kerja malam yang telah dimulainya sejak enam jam lalu. Lelah kadang, tapi inilah resiko pekerjaan yang telah menjadi cita-citanya sejak dulu.

Ditengoknya jam mungil dipergelangan tangan itu yang kini tengan menunjuk angka dua. Lalu pandangan Alina beralih pada ruangan serba putih itu, ruang persalinan yang begitu senyap dan sepi kini, tidak yang lebih tepat adalah belakangan ini, hanya diisi oleh beberapa orang yang berprofesi sama denganya dan beberapa orang perawat yang nampak berbaring dengan kepala terkantuk-kantuk menahan diri agar tetap terjaga di atas beberapa kursi yang disejajarkan.

Bukan ia tak ingin ikut terlelap menjelajah mimpi sama seperti yang lainnya, Alina hanya tak ingin terbawa kantuk saat harus dipaksa bangun ketika ada pasien yang datang dan harus menangani dengan mata yang berat, bukankah malaikat kecil tak tahu waktu untuk melihat dunia. Terlebih ia tak bisa membayangkan mengerikannya kepala perawat yang suka datang tiba-tiba saat mengomeli para tenaga medis yang tidur di jam kerja.

Semakin dilihat-lihatnya sekeliling ruangan itu, sebuah ruang persalinan di RSU Semarang. Tak ada yang salah sebenarnya, Ruangan ini bersih, penataannya baik, segala sesuatu sarananya pun terpenuhi dengan baik, namun belakangan ruangan ini jarang terisi oleh suara jeritan ibu melahirkan. Banyak orang lebih memilih proses kelahiran caesar. Dikarenakan alasannya masing-masing.

Namun tak bisa Alina pungkiri, kantuk terus menyerangnya, membuat epidermisnya mati rasa hingga tak bisa merasakan sengatan nyamuk betina walau puluhan jejak telah terbekas di atas kulitnya. Tampaknya ia butuh secangkir kopi untuk menghalau rasa kantuk.

Alina menepuk kaki salah satu orang yang tengah terlelap di atas kursi.

"Ndy...Sindy..."berusahan untuk membangunkan.

"Hmmm... apaan sih Mbak."gadis yang terduduk di atas kursi itu melenguh, menyahut kendati matanya masih terpejam.

"Aku ke kantin dulu mau beli kopi. Kamu jaga, barang kali ada pasien dateng."

"Iya. Tenang aja. Mbak Alin kalo mau ke kantin, ke kantin aja ada yang lain kok pada jaga."

Setelah mendapat jawaban itu Alina baru bisa berjalan tenang keluar ruang bersalin melewati beberapa lorong untuk sampai ke Kantin.

Seiring langkahnya gadis itu mengingat waktu yang telah terlewati selama dua tahun ini yang ia habiskan untuk bekerja di RS ini. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, rasa-rasanya baru beberapa waktu lalu ia menyelesaikan pendidikanya di AKBID, kemarin ia merasakan ulang tahun yang ke duapuluh dua, dan tak terasa besok adalah hari kelahiranya yang ke duapuluh tiga, duapuluh duajam lagi.

Rasanya semua begitu cepat dan singkat.
Terkecuali satu hal yang terasa begitu lambat. Sudah sejak empat tahun lalu itu terjadi, namun tak sedikitpun pudar. Luka gores di relung hatinya hingga kini tak juga kering. Masih terus mengingat sang pelaku, seseorang yang telah mengecewakannya.

Sadar akan kondisi lorong rs menuju kantin yang kini begitu senyap Alina mempercepat langkahnya. Dirapatkannya lengan untuk memeluk tubuhnya sendiri melawan hawa Semarang yang malam ini terasa dingin seorang diri.

Tak lama langkahnya telah sampai di sebuah kedai di kantin RS itu. Berhenti di depan sebuah etlase panjang untuk memesan.

"Eh mbak Alin. Mau makan mbak?" Sambut rama Ifa, ibu pemilik kedai kantin yang sedang Alina singgahi.

"Ngga makan bu. Aku pesen kopi susu aja sama roti."

"Mau minum disini atau pake gelas cup." Tanya ibu itu ramah.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang