17. Sementara waktu

3.5K 220 16
                                    

Alina menghentikan laju koper yang sedari tadi ia tarik dari parkiran. Dihadapkannya tubuh semampai itu ke arah samping Bundanya yang tengah terisak pilu, berdiri berhadapan di depan pintu masuk penumpang Stasiun poncol, Semarang.

Tekatnya sudah bulat, dia ingin menenangkan diri sejenak. Butuh beberapa waktu dan usaha untuk melupakan hal yang terjadi kemarin. Keputusan yang Alina buat sudah bulat. Kemarin dia telah mengatakannya pada Rini setelah mengurus semua berkas-berkas pekerjaannya di RS. Bundanya menangis meraung, Airin dan Vio mendadak singga ke rumah orang tua mereka, Dila dan teman-temannya semua dibuat kaget saat mendengar keputusan mendadak yang Alina sampaikan.

Tekad kuatnya terbukti kini, sebuah tiket kereta jurusan Semarang-Tegal telah berada di genggaman, bukan hanya sebuah wacana tak terlaksana. Berkat pemikiran panjangnya bermalam-malam, Alina akan pergi kerumah Simbah dan Kakung-panggilan untuk orang tua ayahnya yang tinggal di Brebes.

"Bun, Yah, aku pergi dulu yah?" Pamit Alina, gadis itu mendekat terlebih dahulu pada tubuh tegap sang Ayah yang rela meminta izin untuk sekedar mengantarkan keberangkatannya masih dengan berbalut setelan biru kelabu seragam dinas kantor angkatan laut.

Lukman mendekap tubuh putrinya, mengecup dahi Alina, setelahnya menatap wajah cantik Alina yang tengah menampilkan senyum. "Hati-hati yah nduk, jaga kesehatan jangan telat makan, nurut sama Simbah, Kakung. Kalo mau kemana-mana minta anter supir Kakung, disana nanti kamu dijemput Simbah."

Alina mengangguk pelan, "Iya Yah, Ayah juga jaga kesehatan, makan jangan sampai telat, jangan cuma sibuk sama kerjaan..." tersenyum menatap wajah sang Ayah, kini Alina yang memeluk tubuh kokoh Lukman.

"Kamu pesen tiket yang turun di Tegal kan Nduk?"

"Iya Yah, sesuai perintah Ayah."

Lukman mengangguk, "Iya, Ayah ngga mau kamu harus naik kereta dua kali kalo mau turun di Brebes, biar Simbah yang jemput kamu."

Dilepasnya dekapan pada tubuh sang Ayah, beralih menatap satu lagi sosok yang mengantarkan keberangkatannya hari ini. Rini yang tengah menangis tersedu-sedu, sibuk dengan sapu tangan di genggamannya.

"Bunda..." Alina memanggil wanita yang tengah berlinangan air mata itu.

Alina sebenarnya tega harus meninggalkan Rini dan Lukman hanya dengan Dila yang juga tinggal disana hanya untuk sementara, membuat rumah kokoh yang Ayahnya bangun semakin senyap, mengingat semua saudari-saudarinya telah menikah dan ikut dengan suami, tinggal di rumah mereka masing-masing.

"Bunda..." Rini memeluk Alian erat, tak menjawab panggilan putrinya. Sungguh hatinya begitu sedih tak terkira ditinggalkan putri satu-satunya yang masih milik kedua orang tuanya walau hanya ke kota lain.

"Nduk... Alina." Panggilnya pelan terisak.

"Iya Bunda..." Alian tersenyum dalam pelukan Bundanya. "Bunda jangan sedih, aku cuma pergi sebentar kok, lagi deket cuma ke Brebes di rumah Simbah kan?"

"Apa ndak bisa, kamu ndak pergi nduk..." Alina diam meresapi kehangatan pelukan Rini. "Bunda ndak bakal maksa kamu buat nerima Bagas lagi Lin."

"Bunda aku cuma pergi sebentar kok, ndak lama. Deket juga Bunda sama Ayah bisa sering kesana, ya kan Yah?" Bertanya pada Lukman.

"Iya Bun, nanti kita sering-sering ke rumah di Brebes..." jawab Lukman mengusap punggung Rini.

Pemberitahuan kereta yang akan Alina tunggangi menggema diseluruh area. Membuat Rini mau tak mau melepaskan pelukan pada putrinya. Menatap wajah putri cantiknya itu dalam.

"Hidup yang teratur disana yah..." Rini diam sejenak, mendongakkan kepalanya untuk menahan air mata agar tak jatuh.

"Bunda..." Alina memanggil kembali melihat Bundanya yang tak kuasa menahan air mata. Ia tak bisa mengatakan Rini terlalu berlebihan, belum tahu rasanya ditinggal jauh oleh putri yang selalu hidup bersama.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang