15. Bukan yang terbaik.

3.2K 237 14
                                    

Alina berjalan menaiki tangga hendak menuju kamarnya. Emosinya sudah berada di pucuk, tak ingin Rini menjadi pelampiasannya untuk mengungkapkan amarah, ia lebih memilih mengurung diri dikamar. Saat baru saja disentuhnya pembatas tangga, Aida dapat mendengar seseorang memanggilnya lembut.

"Alina..." Alina melirik objek yang membuatnya penasaran, sedikit terkejut tapi benar dugaannya. Mengangkat sedikit sudut bibirnya, tersenyum sinis setelah kembali membelakangi orang itu.

Lukman melangkah pelan, memeluknya dari belakang. Namun Alina tak luluh, pasti semua ini terencana. Bahkan Ayahnya yang waktu itu mengatakan akan pulang lama dari perkiraan kini datang lebih cepat.

Dilepaskannya rengkuhan sang Ayah, berjalan menaiki tangga kembali.

"Nduk, kamu ndak kangen sama Ayah?"

"Tumben Ayah pulang lebih cepat?" Alina berbalik, menatap penuh kekecewaan pada sang Ayah.

Alina tak marah, dia hanya kecewa. Bukankah sudah dia tegaskan apa hal yang ia inginkan. Tapi mengapa masih dipaksakan, dia kecewa. Sangat-sangat tak menyangka.

"Ayah sama kaya Bunda?" Alina kembali bertanya setelah menunggu tak mendapat jawaban. "Apa Ayah mau maksa aku juga kaya Bunda?"

Lukman diam tak bergeming.

"Aku anggap 'iya' Yah... Alina kewa sama Ayah." Nafas gadis itu memburu. "Aku kira cuma Ayah yang bisa ngertiin aku,  ternyata kalian semua sama."

Alina menutup pintu kamarnya. Apakah hidupnya harus terus seperti ini? Apakah Bunda dan Ayahnya selalu menganggap Bagas pria yang baik, sehingga membiarkan putrinya hidup bersama pria itu.

Bagaimana mungkin dengan tidak tahu malunya, Bagas kembali datang kekehidupannya, seolah-olah tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Disaat dia sendiri telah mengatakan akan menyerah. Apa mungkin karena Alina yang hanya tersenyum pilu, saat pria itu mengatakan memiliki wanita lain, membuat Bagas dengan percaya dirinya menganggap bahwa Alina juga akan tersenyum saat pria itu datang kembali. Melakukannnya secara tiba-tiba, langsung kepada kedua orang tuanya.

Bodoh sekali Alina jika melakukan hal itu, menerima Bagas kembali dalam hidupnya. Dia masih cukup waras untuk mengambil keputusan, tak gegabah hanya karna pangkat pria itu dengan segala macam kelebihannya. Ia tak perduli, Bodo amat.

Sedari tadi ia diam, duduk menumpukan wajahnya pada kaki yang dia tekuk keatas, hanya berhenti oleh kumandang suara azan maghrib lalu kembali diam. Walau dalam diamnya ia tak benar-benar diam, namun juga tak melakukan apapun. Ini bukan hal sedih untuk ditangisi, bukan pula hal yang menyulut emosi membuat wajah memerah darah. Ini hanya sebuah hal yang membuat tak habis fikir diakal gadis itu.

Melalu kaca balkon kamarnya sang surya kini sudah tak ada, hilang di putaran alam. Alina tetap duduk diam tak perduli terdengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah, ramai suara orang di lantai bawah.

Dia tak perduli, hingga tepukan pelan menyadarkannya dari ratapan yang sedari tadi bermain membentuk sebuah ruang. Airin duduk disampingnya, mengalungkan satu tangannya diatas pundak Alina. Mengikuti arah pandang gadis itu, menatap langit malam yang kosong.

"Mbak mau ngomong apa?" Tanya Aida tanpa menatap sang Kakak, sudah tahu maksud dan tujuannya datang. "Kalo mau mbujuk aku buat nerima Bagas mending Mbak keluar, Alic sama Shan lebih butuh mbak Airin, dari pada Mbak nemenin aku disini."

"Lin..." Airin menghembuskan nafasnya pelan.

Aida memang orang yang halus dan lembut. Namun dia bukan tipikal orang yang mengiyakan segala bujukan orang lain. Walau kadang hal itu kerap dia lakukan untuk kepentingan bersama, hal ini lain. Airin tahu, tapi dia butuh alasan.
Seperti saat Viona meminta izin untuk melangkahinya, bahkan Alina mengiyakan saja. Menerima dengan ikhlas tak meminta persyaratan apapun, walau dalam hati dia menangis pilu.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang