9. Memulai kembali.

4.2K 248 4
                                    

Alina tak bisa menghindar. Secepat apa pun diaa mencoba berjalan. Lengan kokoh itu lebih dulu menggapai pergelangan tangannya, mencegahnya untuk lari. Dulu mungkin hal ini adalah sebuah hal yang manis. Bagas menggandengnya ditepi pantai seusai lari sore persiapan fisik memasuki AKPOL. Namun kini hal itu tak manis tak ia butuhkan. Memalukan ia telah berusaha menghindar namun gagal.

"Ayo aku anteri Lin," Pinta Bagas lembut. Nada bicaranya masih sama bahkan sama saat ia mengatakan bertemu dengan orang baru. Dia mengatakannya dengan suara yang begitu lembut.

"Ngga usah kak aku bisa naik kendaraan umum." Alina menjawab tanpa menengok kebelakang, rasanya ia tak mampu menatap netra hitam pekat itu, bahkan salah walau hanya berdialog dengan sang pemilik seperti ini.

"Bukde Yumna bilang dompet kamu ketinggalan di rumahnya." Bagas masih berusaha membujuk, meminta gadis itu untuk diantar pulang olehnya. "kamu mau naik apa?"

"Aku masih ada uang bisa naik angkot." Nadanya kini terdengar ketus. Bagas dibuatnya terkejut pasalnya Alina bukanlah tipe wanita yang gemar marah-marah. Namun pria itu sadar mungkin perpisahan lima tahun lalu telah banyak mengubahnya. Namun perkiraan pria itu tak sepenuhnya benar. "Lepasin tangan ku, aku mau pulang capek."

"Ngga akan aku lepasin. Kalo kamu ngga mau aku anter pulang."

"Oke aku ikut." Alina mengalah ia tak akan bisa menang melawan Bagas tenaganya kalah, hatinya kalah, pikirannya lengah. "Sekarang lepasin tangan kakak, bukan muhrim."

Dengan berat hati Bagas melepaskan gengaman tangannya dari lengan Alina. Melepaskan genggaman hangat yang lama tak disentuhnya sejak lima tahun lalu. Bahkan saat masih berpacaran pun keduanya sangat jarang melakukan hal ini.

"Mobilku disana." Bagas menunjuk sebuah fortuner putih.

Alina diam tak menjawab hanya melangkahkan kakinya mengikuti kemana Bagas berjalan. Rasanya ia hari ini sudah cukup lelah enggan untuk berdebat. Bahkan saat Bagas membukakan pintu mobil untuknya pun Alina hanya diam tak berkomentar apa pun atas hal itu. Atas hal yang mungkin cukup manis.

Mereka sama-sama diam tak ada dialog yang mengisi keheningan didalam mobil itu. Saat Bagas mengajaknya bicara pun Alina hanya menanggapi seperlunya. Namun pria itu terus berusaha memancing percakapan diantara mereka.

"Gimana kabar kamu Lin?" Tanya Bagas lembut untuk kesekian kalinya pertanyaan itu ia lontarkan.

"Kakak udah tanya pertanyaan itu berkali-kali." Alina menjawab pandangannya yang tertuju ke luar jendela. Menatap pandangan luar.

"Dan kamu ngga njawab."

"Aku baik. Sangat baik." Ucapnya mantap mengambil nafas dan menegakkan posisi duduknya. Pandangannya dialihkan kedepan. Rasanya Alina cukup menyesal ia sudah terlalu kasar dengan Bagas tadi. "Kakak gimana kabarnya?"

"Aku sedikit kurang baik."

Alina tak bertanya mendengar jawaban pria disampingnya. Ia terlanjur dibuat kalut dan heran saat mobil Bagas berhenti diparkiran sebuah kafe. "Kenapa kesini? Aku udah capek kak mau istirahat."

"Kamu belum makan siang." Bagas berjalan keluar memutari mobil. Berniat membukakan pintu untuk gadis itu. Namun Alina lebih dulu membuka pintu itu untuk dirinya sendiri.

"Aku bisa sendiri."

Setelahnya mereka diam berjalan memasuki kafe. Tanpa ada percakapan mengiringi perjalanan singkat memasuki ruangan.

Hingga hanya tersisa dua gelas dan dua piring pun mereka masih diam. Duduk berhadapan di kursi disamping sebuah jendela besar yang memamerkan pemandangan jalan raya semarang siang ini. Tak ada yang berniat membuka pembicaraan. Alina mengarahkan pandangannya kearah luar jendela tak berniat membalas tatapan pria di depannya yang sejak tadi terus memandanginya.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang