69. Pernikahan (Definisi Cinta)

903 113 28
                                    

Alina Maudia Nafillah

Bahagia sekali saat membuka mata dan menemukan seorang pria tengah menatapku hangat. Kami sama-sama berbaring menyamping untuk saling berhadapan.

Saat aku terbangun, mataku dan Mas Mahesa seketika saling bersinggungan. Dia tampak segar tanpa kantuk.

Ini adalah romansa indah di dalam hidupku setelah pernikahan kami tadi pagi. Manis sekali, aku bisa membayangkan betapa baiknya hari nanti ketika mengawalinya dengannya yang telah resmin menjadi suamiku secara Agama, Negara dan Administraai kantornya. Semula baik, esok akan kian baik.

Aku tak tahu berapa lama terlelap, tapi kurasa aku tak terlambat sebab Bukde ataupun Bunda belum berkoar keras agar aku segera bersiap untuk make-up seperti tadi subuh. Aku masih sempat untuk terus mengamati wajah yang begitu kucintai ini. Namun setelahnya kusadari, memandangi wajahnya berapa waktupun tak akan pernah kurasa cukup.

"Mata kamu cantik Dek..." ucapnya pelan.

Aku tersipu, panas membakar wajahku.

"Hidung kamu cantik..." kata Mas Mahesa lagi.

Aku masih tersenyum.

"Bulu matamu lentik,"

Dia membual membuatku merasa melayang.

"Alismu terukir indah..."

Aku mulai berjarak dengan permukaan tanah.

"Rambutmu berkilau, kamu cocok Dek jadi model iklan sampo." Katanya tak membual lagi.

Tanganku tentu saja spontan kembali menampar lengannya. Tubuhku pun rasanya seakan jatuh, luruh ke tanah. Ingin rasanya mengomel, tapi aku malas saat mendengar dia terkekeh, walau kuakui juga ikut menikmati suara tawa itu.

"Kamu tuh ya Mas!" Bibirku menekuk.

Dia berusaha menghentikan tawanya, kali ini menatapku lebih serius. "Kamu cantik Dek, selalu begitu di mata Mas."

"Memang!" Menyombongkan diri, berusaha menutupi sipuku.

"Ini sudah jam berapa Mas?" Aku bertanya padanya, tak bisa melihat jam di dinding tanpa kacamata.

"Tujuh belas menit lagi jam tiga." Jawabnya, tak sedikitpun beralih dari menatapku.

"Kenapa Mas tidak membangunkan saya?" Sekali lagi aku bertanya, tadi aku terbangun oleh tatapannya.

"Mas masih mau melihat cara kamu tidur."

Aku salah tingkah. Aku tak tahu caraku tidur bagaimana, tapi selama ini aku belum mendapatkan komplain dari siapapun terkait caraku tidur yang bisa menerbangkan orang lain ke langit. Tapi siapa yang tahu apakah tadi tidurku sembrono atau tidak selain Mas Mahesa dan Tuhan.

Kurasakan tangan Mas Mahesa lagi-lagi menyelipkan rambut ke belakang telingaku, matanya masih terus menyorotku begitu dalam. Tanpa perlu dia katakan, cintanya mampu kurasakan. Memang ya begini, lima huruf itu memang tak jelas artinya tetapi bisa dirasakan dengan banyak cara.

"Tahu bagaimana cara kamu tidur?" Dia mampu membaca apa yang ada dalam di pikiranku.

Aku diam, mempersilahkannya.

"Kamu tidur begitu tenang dek." Tangannya lagi-lagi ikut mengusap pipiku, lalu sudut bibirnya kulihat tertarik.

Aku diam, merasakan tangan hangatnya.

"Sekarang mas baru percaya bahwa putri tidur bukan sekedar dongeng, dia sekarang sudah bangun dan bisa..." Menghentikan kalimatnya, mendekatkan wajahnya padaku, lagi dia mencium bibirku.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang