22. Sepuluh menit berharga.

3.6K 288 18
                                    

Alina mencengkram erat kemeja hijau yang tengah Regan kenakan dengan tangan kanannya, sementara satu lagi tangannya ia gunakan untuk mencengkram sama kuatnya besi dibelakang jok motor itu. Hari kini semakin sore, matahari pun sudah hampir sirnah di penghujung hari, tapi mereka berdua masih santai melaju dengan kecepatan rata-rata.

Alina meresapi angin yang menghempas kulit wajahnya, sementara matanya meneliti jalan yang dia lewati bersama Regan dan honda CB150R putih yang mereka tunggangi. Alina hanya diam sedari tadi setelah sempat tersipu untuk kedua kalinya kala Regan membiarkannya menggunakan satu-satunya helm yang dibawa Pria itu.

"Masnya ini mau kemana ?" Suara Alina beradu dengan angin yang bertiup.

Alina tahu sejak riting pertama yang dinyalakan Regan itu jelas bukan menunjukan jalan rumahnya, terlebih Pria itu juga belum tahu dimana dia tinggal. Alina hanya diam saja membiarkannya membawa motor dengan tenang, tapi ia terlalu bosan jika hanya diam dan tak ada pembicaraan hingga akhirnya kalimat tanya barusan ia ucapkan.

"Sudah sore, hampir maghrib kita mampir ke rumah saya. Saya juga ngga akan tega nganterin kamu pulang naik motor."

Seketika tubuh Alina menegang, namun sepertinya Regan menyadari perubahan Alina. Cengkraman gadis itu dipinggangnya mengerat.

"Tenang aja... rumah orang tua saya maksudnya, disana ada orangtua dan adik saya. Saya belum punya rumah dinas ataupun rumah pribadi. Saya juga ngga akan berani ngapa-ngapain kamu, Alina."

"Hahaha... mas Mahesa tahu ya saya was-was ?" Canda Alina.

"Kulit saya agak sakit sih, rasanya kaya kamu cubit, makanya saya tau kamu sedang takut." Pria itu tertawa diujung kalimat.

Gegas Alina membenarkan pegangannya pada pinggang Regan agar Pria itu tak meresa sakit lagi. Dia salah tingkah.

"Aduh maaf ya, Masnya."

"Ngga papa... Tapi saya akan lebih tidak apa-apa kalau begini."

Alina meresakan tangan regan menyentuh kulitnya. Tangan pria itu hangat, atau tangannya kah yang terlalu dingin. Tangan kokoh Regan membungkus dan membawa telapak kecil Alina untuk memeluk pinggang Pria itu.

"Ini bukan modus, kan ?" Tanya Alina polos.

"Bukan tapi... kamu bisa anggap ini usaha." Regan terkekeh, Alina pun melakukan hal yang sama.

Gadis itu tak akan dengan mudahnya terbawa perasaaan hanya dengan kalimat itu juga hal yang baru saja Regan lakukan. Alina bersyukur untuk itu, juga untuk epidermis mereka yang hanya bersentuhan sesaat, semoga Tuhan memakluminya.

"Masnya bisa aja,"

"Ya harus bisa Alina,"

Tapi Alina tak dapat menampik satu hal. "Saya kok suka ya waktu Masnya nyebut nama saya ?"

"Kalo gita saya akan sering-sering nyebut nama kamu mulai sekarang."

"Hmm oke, " Alina mengangguk, tersenyum menyetujui. Dia jelas hanya mengiyakan tanpa tahu nanti apa yang kan terjadi, menganggap semuanya sama seperti angin lalu. "Rumahnya masih jauh, Mas ?"

"Sekitar sepuluh menit lagi mungkin..."

Alina tahu Regan memperhatikannya dari kaca spion motor ini. Terlintas dalam benaknya untuk menanyakan banyak hal kepada Pria itu.

"Masnya boleh saya tanya-tanya ?"

Kini Alina yang memperhatikan Regan dari kaca spion, Pria itu mengangguk samar. "Tapi saya nanya sama kamu juga boleh ?"

"Boleh, tapi saya dulu. "

"Oke silahkan,"

"Saya penasaran Masnya ngapain disini, bukannya Mas Mahesa tugasnya di Semarang yah ?" Ini adalah hal yang paling Alina ingin tahu.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang