25. Serabi di ujung hari.

3.7K 278 32
                                    

Alina berjalan pelan menuju lobi rumah sakit, disana mungkin dia bisa duduk sembari menunggu Regan jika ada bangku kosong. Tadi Pria itu sempat menelfonnya, saat tengah berjalan menuju mushola rumah sakit untuk solat ashar, mengatakan minta maaf harus membuat Alina harus menunggu sebentar. Alina mengiyakan, menunggu sebentar tak akan sebanding dengan pertolongan yang Pria itu berikan, juga bila terburu-buru dan membuat semuanya menjadi tak beraturan.

Alina menjatuhkan tubuhnya pelan, duduk di kursi panjang itu yang ternyata masih kosong. Hanya dia seorang diri, Riri dan Ica sudah pulang lebih dulu dijemput suami dan anak-anak mereka. Tadi Alina melihatnya, Riana dan anak kembar Ica yang sangat mengenggaskan. Dia sedikit iri, melihat keluarga kecil kedua orang itu.

Entah mengapa belakangan ini selalu ada celah Alina merasa kurang puas dengan hidupnya. Bukan dia tak bersyukur, hanya saja dia baru menyadari hidupnya terlalu monoton, berangkat ke RS, bekerja, lalu pulang. Siklus itu berulang selama beberapa tahun ini setelah dia lulus kuliah, Alina bosan.

Dan entah bagaimana, sejak Bundanya tak pernah menanyakan lagi tentang masalah ini, justru dia semakin memikirkannya. Jika kemungkinan terburuk terjadi apakah dia bisa menerimanya ?

Kemungkinan terburuk yang Alina maksud adalah saat ia tak menemukan jodohnya hingga nanti. Menjadi perawan tua dan mendapat cacian dari banyak orang. Mungkin dalam angannya mengatakan tak apa-apa, dia akan hidup menua dengan gajinya yang pastinya akan lebih dari cukup, jika dirasa bisa dia akan mengadopsi seorang anak yang tak mendapatkan haknya. Dia akan membesarkan anak itu dengan baik, mendidiknya seperti yang dilakukan oleh Rini dan Lukman.

Tapi Alina tahu, Rini jelas tak akan membiarkannya. Walaupun wanita itu diam, Alina tahu Bundanya menangis di setiap sujud hanya untuk dirinya. Jika semua itu terjadi, Alina sadar dia hanya akan menjadi putri durhaka yang hanya bisa memberikan kesedihan pada Bundanya. Dan Alina tak mau menjadi seorang putri durhaka.

Jangan pikirkan Gadis itu akan bersama dengan Regan untuk saat ini, Alina sendiri bahkan tak yakin atas itu. Sekali lagi dia terlalu tak percaya diri, dia hanya seorang bidan, sedangkan Regan adalah seorang perwira. Jodoh pria macam Pria itu paling tidak adalah dokter atapun model seperti pelajaran yang dia dapat terlebih dahulu.

Walau dalam hati Alina, sedikit terselip ruang untuk Regan, tapi dia berusaha menampiknya. Mengatakan pada dirinya sendiri itu hanyalah perasaan-- rasa terimakasih yang belum sempat tersampaikan dari kemarin. Dan untuk alasan jantungnya yang berdetak lebih cepat dari normal, itu hanyalah faktor cuaca yang membuat dada bergemuruh.

Alina belum paham, bahwa yang dia rasakan adalah awal-awal tumbuhnya sebuah 'perasaan'. Yang sibuk dia lakukan hanyalah berharap semua yang pernah terjadi dengan dia dan Bagas tak terulang, apalagi berganti tokoh menjadi dia dan Regan. Usianya bukalah lagi untuk sekedar main-main mengenai sebuah hubungan.

Drett...dret...

Alina merasakan getaran dan bunyi dari ponsel yang ada di dalam tasnya, dibukanya tas yang ada di pangkuan. Di layar ponsel itu tertera panggilan berasal dari Kakungnya. Alina gegas mengangkat panggilan itu.

"Assalamualaikum, Kung."

"Waalaikumsalam, Nduk." Indris menjawab di ujung.

"Lin, mobilmu sudah Kakung ambil."

"Oh ya mobil, makasih Kung aku lupa. Maaf ya Kung ngerepotin." Alina menepuk kepalanya yang tertutup kerudung, dia lupa mobilnya sudah bisa langsung diambil hari ini. Alina merasa bersalah kembali, dia sunggu merepotkan.

"Tidak apa-apa, yang penting kamu baik Lin." Jawab Idris, baginya cucunyalah yang lebih penting. "Oh ya, Kakung mau bilang kalau kamu nanti pulang dijemput sama nak Mahesa."

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang