50. Aku baik-baik saja

1.7K 205 45
                                    

Aku turun dari taksi, melangkah memasuki halaman rumah yang kali ini sepi dimana biasanya ada ajudan  Ayah yang berseliweran. Ini hari Jum'at, sesudah menyelesaikan jam malamku aku memang langsung datang ke Stasiun Slawi untuk lemudian ke Semarang. Kuliahku masih besok pagi, masih sempat untuk beristiraham sebelum besok datang. Tak terlalu mendadak seperti biasanya dimana aku harus langsung datang ke Kampus dari Stasiun.

Kupencet bel rumah, sebelum mengucapkan salam. Tak lama kudengar langkah kali mendekat. Dari balik pintu yang terbuka Viona menyambutku.

"Mbak pulang naik taksi dari stasiun?" Tanyanýa.

Aku mengangguk.

"Dari rumah sakit?" Tanyamya sekali lagi. Pandangan Viona menatapku dari atas ke bawah.

Sekali lagi aku mengangguk, tersenyum dari balik masker yang kupakai. "Sengaja pesen tiket yang hari ini, habis shift malam tadi. Biar ngga gugup banget besok ke kampusnya." Ujarku.

Kulihat rautnya kini mulai paham.

"Bunda sama Ayah dimana?"

"Ada acara, Bunda ikut Ayah, Mbak."

"Oh, Oke." Ayah memang masih selalu sibuk. "Mbak ke dalam dulu ya mau bersih-bersih." Ujarku.

Viona mengangguk. "Iya, Mbak istirahat aja."

Aku berlaku dari hadapan Viona. Berjalan menuju lantai dua dimana kamarku berada. Membersihkan diri, di kamar mandi kamarku. Seragamku hari ini batik, beruntuk tak perlu membawanya ke Brebes lagi sebagai tentengan sebab aku juga sudah punya banyak di lemari kamarku disana, tak seperti seragam RSUD dan pegawai sipil yang hanya ada beberapa pasang. Mengganti seragam itu dengan kaos lengan panjang putih dan trening hitam.

Aku duduk di dekat nakas samping pintu balkon sembari mengeringkan rambut dengan hairdryer hingga setengah kering. Berdiri dari dudukku untuk membuka pintu balkon. Kamar ini nampak berdebu meski kutahu sering dibersihkan, memang nampaknya perlu seorang penghini yang menetap. Membuka pintu kaca itu dan dua lapis tirai yang menutupinya, melangkah keluar dari kamar hingga menapak di balkon yang menampakkan pemandangan belakang rumah.

Kutengok ke bawah, namun tak nampak jelas. Aku perlu meraih kacamata yang belakangan sering kupakai saat perjalanan dan menjaleng malam. Kini lebih jelas. Kulihat Viona yang terduduk sendirian di atas kursi santai tepi kolam renang. Di pangkuannya ada sebuah buku, tapi aku dapat melihat tatapannya tak mengarah pada objek di depan mata. Dia tengah melamun dengan pandangan kosong. Aku belum tahu apa masalah yang tengah terjadi pada Viona, saat kutanya Bunda dia tak menjawab begitupun dengan kedua Kakakku. Aku tahu tampak ada yang tak beres. Belakangan saat akhir pekan dia lebih sering ada di rumah ini, bukan di rumahnya bersama Farhan-sang Suami. Eh... malah dia belakangan selalu ada disini tanpa suaminya, biasanya mereka sangat kompak.

Aku merasa macam ada yang disembunyikan kepadaku. Masalah yang Viona emban saat ini tampak memiliki sangkut pautnya denganku. Aku tak tahu tebakkanku kali ini salah atau benar. Tapi biasanya sudah kugunakan perasaan maka sepertinya aku benar, macam Mas Mahesa yang berbohong dan menyembunyikan keberangkatannya ke Kongo. Ah, aku jadi ingat dengan pria itu, jika dia tak berbohong seharusnya dia sudah kembali.

Kembali pada Adikku, Viona. Aku tak mengerti apa masalah yang dia milikki hingga adikku yang biasanya sangat ceria kini berubah menjadi murung. Saat aku menangis semalaman di kamar setelah Mas Mahesa mengatakan dia akan pergi pun Viona masih bisa meledekku dan menggedor-gedor pintu kaca kamarku. Ini macam masalah yang tak bisa dia atasi sendiri. Aku tahu ini urusan keluarganya, tapi akan lebih mudah saat ada yang bisa membantunya.

Namun takdir baik selalu berpihak padaku. Tadi sempat terpikir untuk menelpon adik iparku, tapi kini kulihat di layar ponselku nama Farhan muncul disana. Sangat tak biasa dia menelfonku, jika pun nama Farhan muncul di ponselku biasanya Viona yang menghubungiku menggunakan ponsel suaminya. Tapi Viona duduk disana sedang melamun.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang