6. Sebuah Suara.

4.4K 277 0
                                    

Jika tak tetap tak usah menatap.
Jika tak menepati tak usah berjanji.
Jika tak bisa tak usah bersedia.

Katakan jika tak bisa.
Aku tak akan marah.
Aku hanya akan menyisihkan lebih banyak waktukku lagi untuk menunggumu.

Selasa senja diujung barat laut jawa tengah, 21 November 2017

************************************
"Lin, bun tolong." Irham masih dengan nafas tersegal.

"Loh kamu sudah pulang Ham ?" Rini bertanya.

Alin dan Rini seketika dibuat syok bukan main. Pasalnya tadi saat makan malam selepas solat maghrib Rini nampak baik-baik saja.

Alina mendahului keduanya menuruni tangga turun kelantai bawah.

"Mbak Dila dimana Mas ?" Alina bertanya kepada Irham sembari berjalan menuruni tangga dengan tergesa. Dibelakangnya Bunda dan Irham mengikuti.

"Di ruang makan, dapur." Jawab Irham berjalan dengan tergesa dibelakang Alina.

"Memangnya Dila kenapa Ham?" Rini bertanya sembari mengikuti langkah kedua orang didepannya. Terdengar nada kekhawatiran di kalimat wanita itu.

Irham yang ditanya menghentikan langkahnya ditengah tangga. Tertegun untuk sesaat. Lalu menundukan kepalanya menatap lantai marmer tangga.

Alina dan Rini ikut menghentikan langkahnya. Berbalik menghadap Irham meminta jawaban atas pertanyaan yang sempat dilontarkan.

"Aku salah beli titipan Dila bu. Dia marah dan nangis ditenangin aku sama ayah ngga bisa." Nada bicaranya penuh dengan rasa bersalah. Menjawab pertanyaan mertuanya dengan menunduk.

Mereka diam. Namun terdengar helaan nafas lega dari Alina dan Rini. Ternyata pikiran buruk diantara keduanya tak terjadi. Semuanya baik-baik saja hanya hormon seorang ibu yang sedang mengadung membuat keadaan tegang.

Mereka melanjutkan langkahnya namun tak setergesa sebelumnya, menuju tempat Dila berada.

Disana ada Dila duduk diatas kursi meja makan didepanya ada dua buah semangka lonjong. Dengan memeluk pinggang sang ayah. Menumpukan wajahnya pada pinggang Lukman. Ia tak tampak seperti biasanya. Malam ini Dila tampak cantik dengan setelan baju hamil dan kerudung instan berwarna moca serasi dengan bajunya. Tampak ada yang spesial malam ini.

Alina berjalan mendekati kakaknya. Menggantikan sang Ayah sebagai senderan Dila dan Rini berdiri di sisi laninnya mengelus pundak putrinya. Disituasi seperti ini, saat mood Dila sedang buruk hanya ia yang bisa menenangkan wanita hamil itu walau hanya dengan elusan dipunggung. Bahkan Irham yang biasanya selalu bisa diandalkan tak bisa menangani mood wanita itu sejak hamil.

"Mbak Dila kenapa yah?" Alian berbisik pada sang ayah yang berada disampinya.

Belum sempat Lukman menjawab, Dila lebih dulu menjawab pertanyaan yang Alina lontarkan.

"Masmu itu Lin, ngga peka banget..." Dila menjawab lemah setelah tangisnya perlahan susut dengan suara parau.

"Maafin mas Dil." Irham berjalan mendekati Dila. Berusaha meraih tangan wanita itu namun Dila menghindar. "Mas ngga tau kalo kamu pengennya semangka merah."

"Astafirullahaladzim..." Rini beristigfar tak menyangka putrinya yang tengah mengandung menangis terseguk hanya karna sang suami salah membelikan buah. "Ya ngga papa toh nduk. Kan sama saja, lagi pula malah semangka kuning lebih manis kan?"

"Irham...Irham kamu kurang peka, masih perlu belajar sama Ayah." Lukman terkekeh pelan. Berjalan menuju sang menantu,menepuk pundak pria berseragam polisi itu.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang