67. Pernikahan (Mbak Garwa & Mas Bojo)

2K 208 29
                                    

Aku sudah makan satu piring nasi dengan lauk tempe sambelbali - masakan khas orang hajatan disini, sudah minum air putih tiga gelas, makan satu buah apel. Intinya perutku tak kosong dan aku kenyang. Aku tak mau semaput di acara penting ini.

Aku juga sudah di make-up cantik, paes pengantin jawa dengan modifikasi hijab tanpa ukiran rambut di kening karya Bukde Ratih. Pet hijab melingkar cantik melengkung di atas dahi, agaknya nanti agar Mas Mahesa tak kesulitan mencium keningku aku harus sesikit mendangak.

Kebaya putih melekat pas di tubuhku, terimakasih kuucapkan kali ini nafsu makan yang terkendali dengan baik. Mutih adalah penyelamatku. Kebaya ini memang diciptakan untuk tubuhku, berpadu cantik dengan bawahan batik parang putih. Terimakasih kepada Tente Disti-pemilik butik sekaligus desainer kebayaku ini yang Ibu pilih.

Setelah tadi sempat mengambil gambarku seorang diri di taman tepian kolam renang, kini lagi dan lagi aku duduk menunggu seseorang menjemputku di kamar pavilliun. Sejak beberapa saat lalu aku tahu rombongan keluarga Mas Mahesa sudah datang.

Mengemut permen mint sembari menatap tv layar besar di dinding yang menampilkan keadaan di luar, tempat akad nikah berlangsung. Berusaha menjaga sikap sikap sebab ada kamera yang merekam.

Dari layar kulihat Mas Mahesa menatap sebuah Al-quran di hadapannya, dia akan membacakan surah Ar-Rahman. Bibirku rasanya tak bisa tertahan untuk tersenyum dan mengucap syukur kala mendengar suara Mas Mahesa yang melantunkan ayat-ayat itu dengan fasih dan jelas. Ini kali ketiga mendengar dia mengaji, kali pertama adalah pada tahan bimbingan mental pada proses pengajuan nikah kami yang pertama dan terakhir, iya insyaallah kemarin yang terakhir sebab sementara lagi akan dia ucap janji menikahiku.

Mendengar suara Mas Mahesa yang mengisi seluruh sudut rumah dan masuk ke telingaku kembali mengingatkanku akan salah satu keteledoranku dulu. Aku tak bertanya apa-apa saat dia menyatakan keseriusannya untuk pertama kali dulu, hanya meminta dia datang menemui Ayah saja. Tak bertanya apapun tentang agamanya dan bagaimana ketaatannya dalam beragama untuk bekal memimpinku kelak. Tapi meski aku tak sempat bertanya, aku bersyukur ketakutanku tak ada dalam diri Mas Mahesa. Aku tahu dia bisa memimpinku untuk menyempurnakan agamaku, aku tahu dia tak akan kesulitan saat mengadzani telinga anak-anak kami nanti ketika baru dilahirkan. Aku tak menyesal mengiyakan permintaannya agar menjadi separuh dirinya.

Tak lama Mas Mahesa selesai membacakan bacaannya. Aku masih menunggu disini, masih belum boleh keluar, seusai akad aku baru diperkenankan keluar menemui pria itu dengan status berbeda. Dulu kenalan, lalu teman, berlanjut menjadi tunangan-pacar-lalu bubar selama dua tahun sebelum dia kembali melamarku untuk menjadi calon istrinya, semoga terakhir kalinya status kami berganti adalah suami-istri.

Masih setia menunggu. Kini aku hanya bisa menatapnya di layar tv, dia tampan, selalu tampan dimataku. Aku suka tubuh tinggi dan tegapnya yang saat bersama dia selalu berusaha melindungiku. Aku suka alis tebalnya yang menaungi mata pekatnya kala menatapku lekat. Bibirnya yang kadang mengucapkan kalimat mengejutkan tanpa pernah kuduga. Hidung mancung dan lurus miliknya yang kuharap menurun pada anak-anak kami kelak.

Disana Mas Mahesa duduk menempati satu kursi dari enam kursi yang ada, tepat di hadapan Ayah. Di samping Ayah ada seorang pria dengan setelan jas berperan sebagai penghulu, sementara di kanan dan kiri meja, duduk saksi untuk pernikahan ini, Pakle Eko dari pihakku dan Pakde Jarwo dari pihak Mas Mahesa. Di samping Mas Mahesa kosong, tempat untukku nanti.

Rasanya aku tak sabar untuk keluar dari sini, tapi akan memalukan jika Bunda menarik leherku di depan banyak orang jika aku keluar sekarang juga. Jadi satu-satunya pilihan adalah duduk disini dan menunggu sebentar lagi untuk keluar. Aku tak sabar melihat Mas Mahesa persis di depan mata, pria itu hari ini tampil penuh karisma dengan beskap putih senada dengan kebaya di tubuhku, sementara seragam keluarga adalah setelah kebaya dan beskap coklat mocca.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang