64. Rindukan dan doakan

2.1K 206 30
                                    

Delapan hari kulalui dengan mengikuti adat pingitan. Hanya diam di rumah tak boleh keluar dari gerbang yang memuat rumah Simbah, rumah Ayah dan rumah Pakle Eko. Setiap hari diisi oleh kegiatan membauri tubuh dengan lulur racikan bukde Ratih yang katanya dikhususkan untuk calon pengantin, masker pun tak lupa, juga penguapan. Mutih tak terlewatkan, tapi aku tak tahan apabila hanya makan nasi dan air putih jadi kuputuskan sekalian saja untuk puasa, berharap juga untuk kelancaran seluruh rangkaian acara.

Jika ditanya bagaimana bisa Mas Mahesa berhasil membujuk Bukde Ratih untuk mau datang, akupun bingung apa jawabnya, tahu-tahu sepulang aku dinas dari Jakarta Bukde sudah disini bersama Simbah. Selama di sini Bukde mengisi kamar di samping kamar Simbah, sedangkan dua orang asistennya mengisi kamar belakang.

Khusus untukku Bukde Ratih menginap disini hingga hari penikahanku dan ngunduh mantu usai. Dia yang memimpin semua ritual pernikahanku dengan Mas Mahesa juga yang akan memaes tentunya.

Prosesi pertama sudah di mulai sejak kemarin sore, memang direncanakan lebih awal. Pasang tarub dan bleketepe yang bertujuan memberi tahu bahwa di rumah ini sedang berlangsung suatu acara. Kembang mayang dari janur kuning pun telah dipasang di tepi jalan raya sebagai petunjuk tempat berlangsungnya acara. Namun acara inti baru akan berlangsung hari ini yang dimulai nanti siang, hingga lusa. Meski sound system yang memutar lagu dangdut khas acara nikahan telah menyala sejak kemarin.

Para tetangga, kenalan Simbah, Ayah dan Bunda juga menghambur datang. Dalam bahasa disini disebut kandegan, yaitu ketika para ibu-ibu atau bapak-bapak datang untuk kondangan dengan membawa serta keranjang berisi beras dan gula, jajanan lain, atau amplop. Saat mereka pulang isi keranjang akan diganti dengan nasi beserta lauk atau berkat. Sementara tetangga terdekat membantu untuk memasak, sinoman. Aku juga menerima kado dan telfon dari beberapa teman yang tak sempat datang seperti Mbak Nita, Leli rekan kerjaku dulu di RS Semarang, katanya mereka harus masuk shift di akhir pekan ini.

Selama tinggal disini banyak sedikit aku tahu tentang prosesi pernikahan ini, meski sebelumnya tidak. Ada beberapa hal yang nampak rumit, namun ada yang lebih muda dengan adat Brebesan. Sedikit membandingkan dengan pernikahan ketiga saudariku dilakukan dengan adat Semarangan, sedangkan aku dengan adat Brebesan.

Hari masih pagi, jam masih menunjukkan enam saat Mbak Hanik orang pesanan Ibu datang ke rumah hendak memasang henna untukku. Aku telah memisahkan diri ke kamar paviliun yang berada di tepi kolam renang. Kebiasaan di keluargaku, saat hendak menikah, pengantin memang tak melakukan persiapan di kamarnya, melainkan di kamar paviliun. Dulu ketiga saudariku juga begitu, menepi di kamar paviliun di rumah Semarang, kamar yang kini kuhuni juga dulu Mbak Vivi tunggui. Di rumah utama terlalu ramai dan bising akibat banyaknya orang, dikhawatirkan bisa membuat stress saking berisiknya.

Semua persiapan untukku dilakukan disini, henna, make-up, dan lainnya. Kamarku telah disulap menjadi kamar pengantin yang rasanya sulit untuk bergerak, tak ada yang boleh diubah hingga besuk. Bunda bahkan mengomel karena sudah terlalu banyak buket bunga dan kado disana, alhasil semuanya dan kegiatan berpindah ke kamar yang lebih luas ini.

"Saya buat sesuai model pilihan mbak Alina, nggih?" Wanita itu sekali lagi memastikan.

Aku mengangguk, "enggih Mbak." Jawabku membalas senyum ramahnya.

Aku berusaha diam tak bergerak banyak, sementara Mbak Hanik mulai fokus menekuni telapak tanganku, mengukir garis-garis halus satu demi satu berusaha membentuk pola indah. Aku tak tahu rupanya proses ini memakan waktu cukup lama. Tiga jam kemudian wanita itu baru mulai menata barang-barangnya kembali saat henna di tanganku sudah terbasuh bersih.

"Saya pamit pulang dulu ya Mbak Alina." Pamitnya padaku.

"Tunggu sebentar Mbak," Aku mencegah langkahnya. Meraih amplop putih yang sudah aku siapkan sejak Mbak Nanik belum datang tadi. "Terimakasih ya Mbak, saya suka sekali dengan polanya. Mohon diterima..." kusalami tangannya penuh isyarat.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang