41. Yang kesekian

2.3K 210 57
                                    

Alina pov

Masih di hari yang sama. Kini mobil yang Mas Mahesa kemudikan tengah melaju di atas pantura Brebes ke arah Barat setelah sempat singgah di alun-alun Tegal untuk solat isya dan makan di lesehan pecel Lele. Hari ini cukup panjang, dimulai dengan lamaran di pagi cerah dengan hiasan matahari yang sedikit hangat, pedang pora dan membawakan lagu di resepsi pernikahan Mbak Tira dan Mas Aldi, menghabiskan sore di taman bermain dan awal malam di alun-alun kota Tegal.

Menjadi nilai tambah adalah adanya Mas Mahesa yang sedari tadi terus menggegam tanganku erat. Waktu satu jam yang biasanya terasa lama sentah mengapa kini terasa amat singkat. Tiba-tiba saja civic putih yang Mas Mahesa kemudikan sudah berada di pelataran rumah Kakung, ditambah tiga mobil yang lebih dulu mengisi halaman luas menambah keterkejutanku. Sebuah fortuner putih milik Mas Rian dan dua pajero hitam Mas Irham dan sisanya entah milik siapa pagi  terparkir disini tampak aneh menguras lahan. Mungkin xpander silver sudah biasa terparkir disana. Nampaknya ada hal terjadi tanpa kuketahui. Acara keluarga dadakan yang terbesit di pikiranku, namun tampak tak benar.

Aku baru tersadar dari segala pemikiran dan terkaanku yang lebih banyak salah saat Mas Mahesa membukakan pintu mobil untukku, padahal sudah kukatakan berulang kali bahwa aku tak suka dia melakukannya. Manja. Mendelik memberikan raut ketidaksukaanku.

Mas Mahesa hanya tersenyum, meluluhkanku. Masih memegangi pintu dengan raut biasanya. "Dek, mau di dalam mobil sampai kapan."

Aku tak protes, memilih turun mengikuti Mas Mahesa. Dapat kulihat dari  jauh para pria yang duduk dengan beberapa cangkir dan toples kue di teras rumah. Kulirik Mas Mahesa disampingku, dia tak tampak terkejut menemukan Mas Rian, Mas Irham, Mas Rama, Farhan, dan bahkan Mas Rio dan Reza-suami Intan ada disana, juga seorang Pria berseragam angkatan laut yang kemungkinan ajudan Ayah yang baru diganti.

"Ada yang ngga saya tahu?" Tanyaku.

Mas Mahesa mengangkat bahunya, aku tahu dia tengah mempermainkanku. Langkah kami sampai di depan gerombolan pria yang tengah duduk di lantai teras rumah ini yang terlampau lebar, menganggurkan satu set kuris tamu jati. Mas Mahesa menyapa semua orang yang ada dari jauh. Aku masih diam. Di undakan teras aku dan Mas Mahesa berhenti untuk menanggalkan alas kaki.

Mataku juga mendelik ke arah tiga saudara iparku bergantian, berhenti pada seorang pria berkumis. Mas Rian-suami Mbak Airin mengangkat satu alisnya. Ya memang dialah satu-satunya objek yang paling tepat untuk kutanyai, sebab dari ketiga saudariku hanya kelakuan istrinyalah yang paling luar biasa.

"Kata Mbak Airin Mas lagi berlayar, kok malah ada disini?" Tanyaku pada Mas Rian. "Kak Reza juga?" Kali ini melotot pada suami Intan, Adik letting Kak Bagas itu. "Mas Rio juga?" Menatap tak percaya pada calon iparku itu.

Aku bahkan dibuat syok, bagaimana mungkin para bapak-bapak ini mengasuh anak-anaknya sedangkan sang istri entah kemana. Mas Rian mengawasi Qila dan Shan, Mas Irham menggendong bayi perempuannya sementara bayi laki-lakinya ada di pangkuan Farhan, Mas Rio dan Kak Reza juga demikian. Mereka persis seperti arisan Bapak-bapak, sedikit miris juga meski mungkin ini salah satu upaya membahagiakan para istri.

"Sudah pulang kemarin." Jawab Mas Rian.

"Mau kenalan sama calon suami kamu." Itu suara Kak Reza.

Aku melotot.

Mas Mahesa mendekati Pria itu, mereka bersalaman khas pria. Tertawa juga. Aku menyipitkan mata menatap mereka berdua.

"Aku tahu, kalian semua ini sering nongkrong bareng, masa iya belum kenalan." Telakku.

Kali ini tatapanku pada Mas Rio. "Mas juga nurutin Mbak Bila?" Angga tampak tenang di dalam gendongan ayahnya.

"Sekali-kali kan nyenengin istri? Ya ndak, Ndan?" Dia melirik ke arah teman sepantarannya Mas Rian.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang