14. Suatu kebiasaan.

3.5K 222 2
                                    

Alina Maudia Nafillah

Aku berjalan melangkah menuju ruang persalinan. Beberapa menit lagi waktu istirahat akan habis. Matahari sudah hampir menampakan wujud seutuhnya dari sebelah timur, jarum jam masih setia menggantung diatas angka enam.

Kuhentikan langkahku, setelah melihat seseorang yang tengah duduk di bangku panjang depan ruang bersalin. Kuurungkan niatku untuk berbalik ketika salah satu orang disana menyadari keberadaanku. Gadis kecil itu beranjak dari duduknya, tersenyum ceria berlari menuju ke arahku. Sudut bibir ini tak bisa kutahan untuk tak ikut tersenyum, merentangkan tangan seperti halnya yang Ia lakukan. Menangkap tubuh Qaira yang berbalut seragam... sekolah sepertinya, kedalam gendonganku.

"Hap..." Qaira menyenderkan kepalanya pundakku. "Qaira kok ada disini?"

"Kangen kamu dia," Bukan gadis dalam gendonganku yang menyahut melainkan Ayahnya. Kulangkahkan kakiku beberapa langkah kedepan, membawa gadis itu ke hadapan Ayahnya yang berada di depanku.

Pria itu tersenyum menampakkan kedua lesum pipinya. Tapi maaf aku tak akan kembali terjebak olehnya. Kubalas senyum Kak Bagas hanya sekedarnya sebagai sopan santun.

"Ngapain Kak, kerumah sakit?" Tanyaku langsung tak ingin berpura-pura ramah padanya. Semoga Qaira tak melihat raut wajahku yang sengaja kubuat tak bersahabat di depan Pria ini kendati suaraku amat pelan.

Ia diam tak menjawab berbalik lalu menyerahkan sebuah tak makanan kepadaku. "Ini dari Ibu, dia tahu kamu jam malam."

Kubuka mulutku hendak protes, namun Kak Bagas lebih dulu memotong. "Aku juga ngga tau kalo kamu kerja malam Lin..."

"Makasih,"

Maafkan prasangka burukku. Kukira dia yang mencari tahu tentangku. Sengaja mengajak Qaira turut serta agar aku luluh.
Kini aku merasa sangat malu, dia tahu prasangka burukku terhadapnya.

Beralih pada gadis kecil digendonganku. "Qaira kangen Tante?"

"Bunda..." Suara pelan dari Qaira hampir membuatku kehilangan kesadaran. Semoga dugaanku kembali salah bahwa gadis ini memberikan panggilan itu padaku.

Sekali lagu harus ku pastikan, barangkali yang Qaira maksud bunda adalah mendiang Mbak Fira. Tak berniat melihat ekspresi apa yang terpasang di wajah Kak Bagas. "Qaira kangen Tante Alina?"

Kini Qaira mengangkat wajahnya dari pundakku, menatapku dengan gurat kesedihan yang terlihat jelas disana. "Bukan Tante Alina..." menunjuk dadaku dengan telunjuknya. "ini Bunda."

Seketika kurasakan seakan langit runtuh menimpaku. Kualihkan pandanganku ke wajah Ayah anak ini, menatap protes. Sementara Kak Bagas memasang wajah memelas kepadaku, tapi maaf aku tak akan termakan bujuk rayumu kak.

"Bukan sayang ini bukan bunda..." kutunjukan isyarat tangan bukan pada Qaira, menepuk dadaku keras. "Ini Tante Alina, bukan Bunda... Tante Alina."

Bibir kecil Qaira bergetar, aku dapat melihat air mata telah terkumpul disana. Segara ku serahkan Qaira ke dalam gendongan Kak Bagas, aku tak mau luluh. Lalu membiarkan gadis itu memanggilku Bunda, khawatir itu akan menjadi kebiasaan.

"Kak bentar lagi aku udah mulai kerja." Kubiarkan Qaira berada pada gendongan Ayahnya. Namun seketika tangis gadis kecil itu pecah.

Maafkan Tante Alina yang jahat ini Qaira. Tapi ketahuilah bukan hanya kamu yang ingin menangis, aku pun demikian. Tolong jangan hakimi aku atas tindakan jahat ini. Aku hanya tak mau jika Qaira terbiasa atasku, dan tak bisa menerima jika suatu saat wanita pengganti  Mbak Fira datang.

Aku tak mau seorang anak yang bukan terlahir dari rahimku memanggilku panggilan semacam itu. Tak ingin orang-orang salah faham. Baiklah... kali ini ku biarkan kalian menganggapku jahat. Aku memang egois.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang