68. Pernikahan (Salah referensi)

3.1K 226 48
                                    

Selesai dengan semua prosesi akad nikah dan adat, setelah tadi melewati sesi salam-salaman dan prasmanan para tamu mulai pulang ke rumahnya masing-masing. Kini yang mengisi kursi di bawah tenda hanya keluarga inti dan beberapa orang yang biasa bekerja untuk sawah Simbah dan ajudan Pakle dan Ayah saja.

Setelah Aku dan Mas Mahesa melewati sesi foto berdua, kinì juga ikut didudukkan disini bersama mereka. Di meja para orang muda yang tak begitu muda berkumpul, sementara anak-anak yang lelah lelap di kamar pavilliun, para orang tua berkumpul di dalam rumah rumah entah membicarakan apa.

Sudah jelas apa saja yang orang muda tapi dewasa bicarakan di meja ini. Candaan-candaan, gurau tak berkesudahan, juga canda yang rasanya lama tak terdengar sebab terlalu riweh dengan persiapan pernikahan yang alhirnay terlaksana hari ini.

"Masih sabar ndak Sa nunggu nanti malam. Jangan sampailah kelepasan siang bolong begini." Canda Mas Rian mengingatkan.

Kompak saja seisi meja tertawa.

"Monggo Mas, barangkali mau nyium Mbak Alin, juga sudah boleh kan." Kata Farhan.

"Tapi ya jangan sampe kelepasan." tambah Mas Rama.

Tak perlu ditanya rautku seperti apa saat ini, mendapat banyak kalimat kotor macam itu sedari tadi. Mereka entah makan apa hingga bisa sengawur itu kalimat-kalimatnya.

Ingin rasanya mendamprat bibir lemes itu dengan dodol sewajan, tapi melakukannya terlalu sia-sia jika harus membuatku melepaskan jalinan tangan Mas Mahesa pada tanganku yang sedari tadi dia buat begitu erat dan hangat. Ingin memasang wajah sebal tapi begitu kulihat wajahnya begitu kalem sangat menenangkan hatiku. Dia hanya sesekali mengangkat sudut bibir, tak ikut menjawab apapun.

"Lah kalo kelepasan juga ngga apa Mas, sudah sah ini. Siang-siang ya tinggal ngunci pintu sama nutup gordeng." Lagi kata-kata keluar dari mulut Farhan.

Seketika seluruh pasang mata menatap ke arahnya. Adik iparnya itu memasang wajah biasa saja. Memang mulutnya kadang tak ada saringannya, setipe sekali dengan mulut nyablak sang Istri.

"Ketahuan yang suka main siang-siang." Ledek Bang Rio, mereka kembali terkekeh bersama.

"Dimaklumi jiwa anak muda, masih susah buat sabar nunggu malam mungkin." Mbak Bila tersenyum segaris, tangannya tengah menguliti jeruk.

"Ya hampir semua orang waktu jaman pengantin baru pasti begitu." Saut Mbak Dila.

Mbak Vivi kulihat mencolek lengan Mbak Dila. "Lagi curhat, Mbak."

Mbak Dila mengangguk. "Iya yah jadi kangen jaman pengantin baru..."

"Kangen apanya?" Mbak Airin bertanya. "Kangen keramas tiap pagi pasti yah." Dia menoel-nole lengan Mbak Dila.

"Mbak..." Mbak Dila tampak salah tingkah atas godaan itu.

"Kalau keramas sampe sekarang juga masih rutinlah, Mbak." Mas Irham justru yang menjawab. Lalu suara mengaduhnya terdengar ketika sang istri mencubit lengannya. Yang lain tertawa keras melihat sepasang suami istri itu.

"Jaman mau ke kamar mandi aja dia nganter ya, Mbak." Kali ini Mbak Vivi ikut bersuara.

"Nah itu maksudku. Jaman masih romantis-romantisnya. Sekarang mah boro-boro, paling kalau ada maunya."

Lalu yang melanjutkan adalah para ibu-ibu, menumpahkan segala unek-unek dan bapak-bapak hanya bisa memasang wajah pasrah. Tak akan bisa ucapan para perempuan ditampik, kata-kata para laki-laki juga tak bisa didengar saat ini. Akan lebih ramai jika Intan dan Kak Reza ada, tapi mereka tak bisa datang karena ada kegiatan yang tak bisa ditinggalkan, mungkin nanti malam baru bisa hadir di resepsi kami. Mbak Anin dan suami juga tak ada, biasanya mereka selalu ada kali ini hanya datang di acara resepsi saja.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang