4. Qaira ?

4.9K 309 8
                                    

Alina berjalan terburu-buru. Kini sudah menunjuk pukul 12.15 dan dia harus berjalan seorang diri menuju kantin, teman-temannya sudah makan sejak tadi. Mendahuluinya  takut tak mendapatkan makan siang.

"Alina!" Leli teman sebidangnya memanggil.

"Iya. Kenapa Lel ?" Gadis itu berhenti menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.

"Kamu dicariin dokter Anin tadi dikantinnya Bu Ifa."

"Iya ini juga sekalian mau kesana."

"Yaudah aku duluan Lin." Leli berlalu.

Dokter Anin. Teman kakak pertamanya, Airin. Seseorang yang mengenalkannya pada Bagas. Seseorang yang mengerti hampir segala hal tentang dia dan Bagas.

Namun Alina tak pernah sekali pun membenci Anin. Bukan salah Aninlah ia merasakan patah hati oleh Bagas. Alina bahkan merasa sangat bertrimakasih kepada sosok dokter wanita itu, karna Aninlah ia bisa bangkit oleh rasa kecewa yang telah bagas ukir di relung hatinya.

Bahkan wanita itu ikut menghakimi Bagas. Menyalahkan segala keputusan yang telah pria itu buat. Tanpa mengingat hubungan saudara sepupu yang mereka miliki. Bahkan Alina ingat saat itu, layangan tangan Anin yang mengungkapkan rasa kecewa tak bisa dielak oleh Bagas. Alina bahagia atas memar yang pria itu dapatkan.

Langkah Alina telah sampai ditempat yang ia tuju. Disana tanpak Anin melambaikan tangan, duduk disebuah meja disebelahnya ada Karel tunangan dokter cantik itu. Alina menghampiri meja keduanya.

"Dokter Anin cari saya ?" Alina bertanya setelah sampai dihadapan kedua orang berjas putih itu.

Wanita dengan nam-tag dr. Ima Anindya itu mengubah hadapan kepalannya menjadi kearah Alina setelah sebelumnya berbicara dengan sang tunangan.

"Eh iya duduk, Lin." Anin mempersilahkan Alina duduk dihadapan mereka. Ada sedikit hal yang perlu dia katakan kepada gadis itu. "itu udah mbak pesenin soto ayam tanpa tauco kesukaan kamu."

"Makasih dok." Gadis itu tersenyum menampakan gigi putih yang tersususn rapi.

"Udah dibilangin kalo waktu kaya gini ngga usah manggil formal juga."
Ucap Anin seraya menuangkan setengah sendok makan sambal pada soto Alina.

"Ih mbak Anin pengertian banget deh."

"Udah cepet makan ada yang mau kita omongin nanti."

Mereka lalu sibuk berkutat dengan makanannya masing-masing tanpa ada suara yang dikeluarkan. Sebuah hal yang telah menjadi suatu keharusan.

"Allahamdulillah hiladziatamana  wasaqana wajalna minal muslimin."

"Apa yang mau diomongin mbak ?" Alina kembali buka suara.

Anin tak menjawab wanita itu malah membuka tasnya mengambil sebuah kertas bergambar dan berwarna indah dari sana.

"Tara..."Anin bersorak. Memperlihatkan Alina sebuah undangan bertuliskan namannya dan sang calon suami. Lalu diberikannya kertas itu pada Alina.

                    dr. Ima Anindya


Dan  

dr. Karel Ganesha Arya Satya.

Menuju sunah rasul pada:

                    Minggu___________
            Masjid Agung Jawa Tengah


"Wah tempatnya di masjid agung yah mbak..." Alina berseru riang, dia ikut bahagia.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang