59. Belajar

2K 207 20
                                    

Matahari sudah tenggelam di barat, menunjukan kini sudah memasuki Rabu malam. Genap sudah lima hari aku menginjakkan kaki di sini sejak Sabtu malam. Rapat, seminar sudah selesai sore tadi, dan aku masih punya waktu satu hari-besok juga jatah libur hingga hari Sabtu nanti, berlanjut hingga sepuluh hari kedepan untuk cuti nikahku. Aku tak memilih untuk langsung pulang, membayar satu hari lagi kamar hotel hingga besok pagi untuk keretaku.

Kini aku tangah duduk di salah satu kedai kopi di Plaza Indonesia menunggu salah seorang teman datang. Baru beberapa saat lalu aku menutup laptopku setelah merampungkan laporan yang akan kuberikan ke rumah sakit. Memberikan sisa waktu yang ada sebelum Risa datang sebentar lagi.

Aku memikirkan perkataan Mbak Airin, meski sudah beberapa hari memikirkannya tapi tetap kuulangi. Waktu Mas Mahesa memang tak banyak, dia sudah menandatangani kontrak dan memberikan tubuhnya untuk Negara. Semua pengaturan waktunya atas aturan Negara, terkecuali lima waktunya. Mas Mahesa pernah mengatakan, waktu luangnya sedikit namun dia akan selalu menyisihkan waktu untukku. Aku tak berpikir, jika dia tak datang, dia benar-benar tak bisa bukan seperti pemikiranku bahwa dia tak menganggapku sesuatu yang penting.

Beberapa hari ini bahkan dia masih sempat mengirimiku pesan menyakan kapan aku pulang meski hanya kubaca tanpa mau memberikan balasan, menelfonku meski tak pernah kujawab setiap pagi dan malam. Hanya tadi pagi dia tak menelfonku, hanya mengirim pesan katanya ada acara di Cilacap dan dia akan sibuk tak sempat mengabariku.

Tanganku bergerak mengambil ponsel di atas meja, membuka ruang pesan kami. Membaca kembali pesan yang Mas Mahesa kirim pagi tadi.

Hari ini mas harus ke Cilacap, ada acara disana. Mungkin nanti sibuk dan tidak bisa mengabari kamu. Maaf.
04.44

Kabari mas kapan kamu pulang.
04 45

Lagi-lagi aku merasakan perasaan seperti ini, bersalah telah menyalakannya. Rasanya sama persis seperti saat aku menghakimi Mas Mahesa saat pertama kali tahu bahwa dia akan berangkat ke Kongo, berakhir aku yang menyesal karena mengabaikannya. Padahal berulang kali aku belajar, tapi berulang kali juga kutemui aku selalu memiliki kekurangan. Apa aku memang sudah cukup pantas untuk menjalani pernikahan? Jika usia bukanlah penentu kepantasan untuk menikah, sebab nyatanya Viona pun bisa menjalani rumah tangganya sejak usianya 19 tahun.

Apa harus pernikahan kami kembali ditunda untuk menunggu kepantasanku? Atau aku harus membiarkan Mas Mahesa mencari sosok perempuan yang lebih pantas untuk mendampinginya? Meski kutahu aku akan sangat berat untuk membiarkannya terjadi. Dulu beribu doa kukirimkan untuk meminta seseorang untuk membersamaiku, lalu kulepaskan begitu saja. Tidak mungkin.Beribu doa juga meminta agar dia lekas kembali, kembali padaku saat dia pergi. Meminta pada-Nya agar dia tak lupa jalan pulang.

Benar aku yang salah kali ini, kuakui. Tak sabar, meski tahu menjadi pendampingnya kuncinya adalah kesabaran dan keikhlasan. Perintah Mbak Airin agar aku introspeksi diri, membuatku menyadari segala kurangnya aku. Aku merasa kian tak pantas, padahal dulu kukira aku yang paling pantas. Aku kadang masih kekanakan, aku pemarah, dan juga tak bisa untuk selalu memakluminya.

"Alina..." Suara seorang perempuan memanggil, menarikku kembali ke realita nyata.

Seketika aku berdiri, memeluk perempuan dengan tubuh tinggi semampai, berkulit eksotis yang dibalut dress merah bata berpotongan sederhana.

"Tea tanpa gula?" Tanyaku sembari melirik gelas berisi cairan coklat bersuhu normal sejak kupesan.

Dia mengangguk. "Masih ingat aja,"

"Harus," Jawabku cepat.

Aku tak mungkin melupakan rutinitas kami sejak dulu, saat kami janjian orang yang pertama datanglah yang akan memesankan. Membuat kami ingat kegemaran satu sama lain, meski aku pelupa. Sudah dua tahun lalu sejak terkahir kali kami bertemu, seusai melihat keberangkatan Mas Mahesa ke Kongo.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang