3. Sebuah awal

5.3K 314 0
                                    

Alina berjalan pelan untuk keluar dari gerbang komplek rumahnya. Hari masih pagi bahkan embun belum sepenuhnya menetapkan dirinya pada rumput. Setelah melewati akhir minggu ia kembali keawal minggu, yang Alina harap minggu ini adalah terselip satu hari saja ia libur kerja setelah melewati minggu-minggu lalu yang tak ada libur.

"Mbak Alina mau berangkat?" Seorang anak kecil datang dari belakang Alina,menyapa. Seragam putih biru melekat ditubuh gadis kecil itu.

"Eh Risa," Alina memanggil nama setelah langkah mereka bersisihan. "iya ini mau berangkat. Kamu kok tumben ngga dianter sama papahnya?"

Wahah Risa berubah murung, sedikit kekesalan tersirat di sana. "Iya mbak. Papah ada metting jadi berangkatnya pagi banget. Terpaksa deh... naik angkot dari halte depan rumah sakit."

Alina tersenyum kecil melihat raut wajah gadis disampingnya. Dulu ia pun sama dengan Risa, namun bedanya setiap hari ia harus pergi-pulang menaiki kendaraan umum, bukan hanya saat Ayahnya ada metting pagi.

"Gausah cemberut." Alina menarik kedua sudut bibir Risa.

"Aku ngga bisa nyebrang mbak, males kalo nunggu di halte yang harus nyebrang dulu." Jelas gadis itu.

"Tenang nanti mbak sebrangin." Alina menenangkan, tangannya terulur memegang pundak Risa.

Tanpa terasa langkah keduanya telah sampai didepan rumah sakit. Terlihat halte di depan keduanya hanya terbatasi jalan raya.

"Yuk!" Alina.

Diraihnya tangan Risa. Menuntun gadis kecil itu berjalan menyebrang jalan, jalanan yang sudah tampak ramai walaupun jam masih menunjuk pukul 06.02.

"hati-hati nanti kalo depan sekolah minta disebrangin satpam nyebrangnya yah." Ia mengusap rambut Risa. Lalu memberhentikan sebuah angkutan. Melongok ke jendela supir seraya menyerahkan selembar uang. Alina menyilakan gadis kecil itu untuk masuk.

"Ok mbak." Risa mengangkat ibu jarinya..

"Udah dibayar." Diusapnya poni gadis kecil itu.

"Ngga usah mbak, aku dikasih uang mama kok buat naik angkot."

"Yang itu buat kamu jajan,"

"Makasih mbak Alina."

Alian tersenyum, membalas senyuman Risa. "Hati-hati, belajar yang rajin."

"Iya, pasti"

Risa mengambil tangan Alina untuk dicium. Memasuki angkot setelah merasakan dorongan pelan dari Alina.

Setelah angkutan yang Risa tumpangi kembali melaju, Alina kembali berjalan menuju pintu utama rumah sakit harinya kembali dimulai. Disapanya beberapa pasien dan staf rumah sakit dengan sebuah senyuman di sepenjang lorong. Ia begitu bahagia di hari ini, sisa-sisa kemari hari ulang tahunnya.

Tak terasa langkahnya telah sampai dimeja miliknya, seruangan dengan ruang bersalin. Hanya dokter dan pejabat rumah sakit yang mendapatkan ruangan. Sementara perawat dan bidan hanya akan mendapat bagian sebuah meja, walau hanya sebuah meja kerja kayu Alina dan rekan-rekannya begitu mensyukuri itu, bagi meraka bukan tentang sebuah jabatan melainkan sebuah ketulusan. Meraka harus selalu ada dan bersedia untuk orang-orang disekelilingnya. Bahkan disaat tak diperlukan.

Diletakannya tas punggung yang sedari tadi dibawahnya diatas kursi. Ia lalu berjalan menuju tempat cuci tangan. Jam kerjanya mulai satu jam lagi, tetapi sepertinya suasana ruang persalinan sekarang membutuhkan banyak bantuan.

Seseorang menepuk pundak Alina. Disusul terbukanya keran disampingnya. Ayu,seniornya datang dari belakang. Peluh membasahi dahi wanita itu.

"Kamu gantiin mbak bisa Al ?" Wanita itu bertanya pada Alina yang kini tengah memasang sarung tangan karetnya.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang