Aku tengah mengetik tugas kuliahku yang baru kuperoleh siang tadi dan harus kukumpulkan besok pagi. Menatap layar laptop di temani secangkir kopi untuk pencegah kantuk mendatangiku lagi, aku tak sempat tidur karena harus jaga malam semalam dan tadi pagi harus lari-larian agar tak telat masuk ke kelas pagiku. Kupercepat jari-jemariku saat mengetik kalimat terakhir di layar laptopku, hingga akhirnya selesai dan menyimpannya dalam bentuk file.
Ku hela nafas lega, tugasku akhirnya selesai. Pandanganku kini berfokus pada wallpaper layar laptopku. Fotoku dan Mas Mahesa di lamaran resmi kami. Kami yang berdiri berdampingan memamerkan cincin di jari manis masing-masing dengan senyum terkembang sempurna saling menatap mesra. Sial! Aku ingat dia lagi. Kenapa pula aku masih memajang foto ini.
Aku merapatkan bibirku. Menyentuh jari manisku dimana sebuah cincin lain tersemat. Ya aku memang labil, pada akhirnya cincin paja Mas Mahesa kembali terpasang di jariku. Rasanya terlalu sia-sia jika dibiarkan tergeletak di laci, lumayan juga untuk pengusir beberapa pria yang berusaha mendekatiku.
"Kamu terlalu cantik buat dia." Kalimat Fani yang baru datang dengan tiba-tiba lalu mengisi kursi disampingku menarikku dari diam.
Dia menggeser laptopku untuk sedikit terarah ke hadapannya. Kulihat dari samping perempuan berambut sebahu itu menatap teliti walpaper laptopku. Kuperkenalkan dia, namanya Fani. Teman sekelasku sekaligus pemilik kafe tampatku duduk saat ini. Dia memang tak memutuskan membuka praktik apa dan dimanapun lebih memilih fokus pada usahanya saat ini.
"Suami kamu?" Tanyanya.
Aku tertawa kecil, sebelum akhirnya menggeleng. "Seharusnya April lalu nikah."
Mendengar jawaban Fani sontak dia terbungkam. Aku memang belum menceritakan banyak tentang Mas Mahesa, meski dia benyak menceritakan tentang keluargannya. Fani sepantaran denganku, dia sudah menikah dan suaminya bekerja di pertambangan di Qatar hanya pupang setahun sekali. Aku nyaman berteman dengannya, namun tak akan kuceritakan jika dia tak meminta.
Kulihat dia menampilkan raut penyesalan. "Maaf ya Lin..."
Aku menggeleng, tersenyum. "Ngga papa, mau tau kenapa?"
"Ngga usah," ujarnya sungkan.
"Aku tau kamu penasaran Fan." Ujarku jenaka.
Fani menghela nafas, sesudahnya ikut tersenyum.
"Dia calon suamiku..." aku menyebutnya ragu, bingung masih sama atau sudah berubah. "Namanya Mas Mahesa, dia tentara angkatan darat. Bulan April lalu seharusnya kita nikah, tapi sebulan sebelum pernikahan kita dia harus berangkat ke pelatihan sebelum akhirnya berangkat tugas ke Kongo."
"Pernikahan kalian ditunda?"
Aku menggeleng ragu lalu mengangguk. "Mungkin bisa dibilang begitu, kalau dia nanti balik ke aku lagi." Jawabku. "Tapi kalau ngga, ya berarti pernikahan kita batal. Belum jodoh..."
"Ngga kok keliatan dia tipe setia, Lin." Ujar Fani. "Tapi kamu terlalu cantik buat dia." Tambahnya
Aku tersenyum. Mengaamiinkan dalam hati, kuharap juga begitu. "Makasih, tapi dia itu sesuatu buat aku."
"Berapa lama dia pergi?"
Aku menimang jawaban yang akan kuberi. "Katanya satu tahun." Aku tak akan menghitung waktu yang terlewat sejak kepergiannya hari itu.
"Aku yakin kamu bisa kok nunggu, keliatan muka kamu orang sabar." kurasakan usapan tangan Fani. "Aku juga dulu sebelum nikah LDR, satu-dua tahun sekali baru ketemu. Sampai sekarang jadi LDM."
Nyatanya kadang sering ditinggalkan tanpa kabar aku tetap tak terbiasa.
"Kayaknya aku harus minta tips dari kamu." Aku serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Midwife Is My Future [AUTHOR NGARET]
RomanceSiapapun tidak akan pernah bisa mencintai untuk kedua kali dengan cara yang sama setelah merasakan suatu kekecewaan. Alina Maudia, seorang bidan cantik lemah lembut. Hanya mengisi hidupnya dengan satu hal. Mengabdi pada Negara dengan membantu proses...