11. Jatuh

4.2K 229 2
                                    

Alina Maudia Nafillah

Jam sudah menunjukan pukul 1 siang, membuat perutku memberikan peringatan dini agar segera diisi dengan memberikan suara. Waktu istirahat yang seharusnya dimulai jam 12 siang harus kuundur satu jam.

Salah seorang pasien sedang dalam proses persalinan, pembukaan lengkap. Tak ada rekan yang bisa menggantikan, mereka sudah tak kuat menahan asam lambung yang terus naik. Ya resiko menjadi tenaga medis umum sering melewatkan waktu makan membuat masalah asam lambung umumnya. Beruntungnya aku tak mengalami semua itu kini, ya tak tahu kalau nanti. Membuatku menunda waktu istirahat dan menghadap sang pencipta karna tak ada yang bisa diajak bergantian, tak tega aku rasanya mendengar keluhan dari mereka yang merasakan nyeri perut, sebagian seniorku bahkan belum sempat sarapan karena tadi pagi terlalu sibuk mengurusi anak dan suaminya.

Atas keterlambat jam istirahat aku tak merasa keberatan. Namun untuk melaksanakan solat dzuhur rasanya membuatku menyesal tak tepat waktu melaksanakan perintah-Nya. Namun itu semua resiko atas pekerjaan yang aku pilih, tak menyalahkan kapada siapapun. Salah satu caraku mengabdi pada bangsa ini, cara menolong sesama, dan menjadi berguna bagi orang lain. Hanya berharap Dia memaafkanku.

Aku berjalan menuju tempat cuci tangan diruang bersalin yang letaknya di samping pintu keluar, seraya melepaskan sarung tangan karet yang melekat ditelapak tangan. Selepas menyelesaikan proses persalinan tadi aku menyerahkan bayi pasien kepada Azmi, rekanku yang berjaga bersama, untuk dibesihkan dan kemudian diserahkan kepada keluarga.

Cit...

Pintu ruangan itu dibuka dari luar. Menampakan beberapa rekanku yang baru kembali dari istirahat. Saling menyapa wajah mereka terlihat lebih sumringah kini. Tak ada lagi keluhan karna perut terasa perih keluar dari mulut mereka sejauh ini.

"Maaf ya Lin, kamu jadi telat istirahatnya." Leli datang menghampiriku. Ia tersenyum menampakan deratan gigi gingsulnya membuat dia tampak manis.

"Alah kamu biasanya juga gitu." Aku berpura-pura merengut.

Ia hanya terkekeh memepetkan tubuhnya padaku.

"Aku ditinggal,"

"Hehehe... iya." Ia semakin terkekeh membuat matanya semakin hilang. "Tadi kan ada pasien darurat jadi terpaksa deh ditinggal. Lain kali ngga kok."

Baiklah tapi setiap hari memang begini. Jadwal istirahat untuk staf ruang bersalin digilir karena ditakutkan ada pasien yang datang tiba-tiba. Tak mungkin bukan, saat ada ibu yang hendak melahirkan, harus menunggu para bidan yang sedang mengantri makan siang di Kantin, sementara sang ibu menjerit-jerit sambil menjambak rambut sang suami.

"Iya," Aku tersenyum.

Tadi hanya bualanku saja. Tak apa aku makan sendiri toh aku bukan remaja yang pergi kemana-mana malu jika sendirian. Tapi mukaku juga tak setebal bedak yang digunakan anak jaman sekarang yang jika naik motor bonceng tiga menggunakan hotpens.

"Ke kantin dulu yah." Leli mengangguk.

Aku melangkah menuju pintu keluar. Kuraih gagang pintu ruang bersalin. Namun kembali kuurungkan,sesuatu tertinggal.

"Mbak, Azmi mana ?" Tanyaku pada mbak Nita yang kini tengah berdiri mencuci tangannya.

"Lah kamu keasikan ngobrol sama Leli. Si Azmi tadi pamit istirahat ngga denger. Udah ditungguin pacarnya katanya tadi" Ia terkekeh.

"Loh aku kok ngga denger yah mbak?" Aku bingung sendiri menggaruk kepalaku yang tak gatal. Cepat sekali itu anak keluar bahkan, waktu mencuci tanganku lebih cepat dari waktunya membersihkan bayi. Junior itu memang gesit sekali entah karena lapar atau karna tak tahan ingin cepat bertemu dangan pacarnya.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang