2.Sebuah kesempatan.

6.7K 356 5
                                    

Alina berjalan keluar dari rumah sakit dengan tangan yang terangkat menutupi kepala dari matahari yang sudah memamerkan sinarnya dengan terik. Ini hari minggu dan ia baru bisa beristirahat setelah baru saja selesai dengan segala urusan, sebenarnya jam kerjanya telah habis sejak pagi tadi, namun mendadak di poli kandungan staf yang berjaga tidak bisa datang, dokter Ira meminta ia untuk menggantikan hingga poli tutup.
Sepulang ini baru Alina mungkin sepulang dari rumah sakit ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang sudah letih ini. Beruntung rumahnya tak jauh dari rumah sakit. Hanya berjalan kaki sekitar 15 menit.

"Assalamualaikum. Bun, aku pulang."

Tak terdengar sahutan dari dalam. Setelahnya ia langsung meraih gagang pintu rumah yang tak terkunci. Berjalan menuju lantai dua, tempat dimana kamarnya berada.

Namun saat hendak menaiki anak tangga, Alina menghemtikan langkahnya sejenak. Bibir gadis ituemyunggikan senyum menawan. Terlihat di taman belakang rumahnya, Bundanya dan ketiga saudarinya berkumpul dengan keluarga kecil mereka.

Tanpa Ayahnya.
Mungkin kini Lukman tengah sibuk di kapal menjalankan tugas negara yang berada di atas keluarga mereka.
Itu adalah hal biasa, hal biasa dimana  Alina, Bunda dan ketiga saudarinya harus selalu memaklumi. Mereka bahkan sangat bangga dengan pekerjaan Lukman, walau banyak menyita waktu kebersamaaan mereka.

Ya. Alina memiliki 2 kakak dan 1 adik yang ketiganya telah menikah. Airin Nabila, kakak pertamanya ibu dari dua anak adalah Istri dari seorang TNI-AL. Sedangkan kakak kedua yang kini tengah mengandung 7 bulan bernama Nadila Aulia dan Adiknya Viona amira adalah seorang ibu bayangkari.

Viona adik keduanya baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan seorang perwira polisi bernama Farhan. Mendahului Alina yang kini masih tetap kukuh dengan pendirianya, memilih sendiri dan tak menerima kehadiran siapapun yang berusaha tinggal di serambi relung hatinya.

Entah suatu kebetulan dan takdir, secara bersamaan ketiga saudari Alina mendapatkan suami seorang abdi negara. Membuat Alina semakin dibuat cemas hal itu juga akan terjadi padanya jika ia mencari pasangan hidup dalam waktu dekat.

Alina kembali melanjutkan langkahnya, berjalan menuju kamarnya dilantai dua.  Di dalam kamar gadis itu membersihkan diri di bathroom kamarnya.

Alina mengistirahatkan tubuhnya sejenak dari kelelahan semalam menjaga ruang bersalin. Menatap langit-langit kamar berada di depan pandangan matanya.

Tok...tok...tok...

"Alina bunda masuk yah?" Terdengar suara Rini-bunda Alina dari luar pintu setelah suara ketukan pintu.

"Iya bun ngga dikunci kok pintunya." Alina menjawab, untuk mempersilahkan Rini masuk.

Alina mengubah posisi tubuhnya dari berbaring menjadi duduk. Diulasnya sebuah senyum menatap sang Bunda yang berjalan mendekat lalu duduk di tempat tidur di sisinya.

"Kamu udah pulang, kok ngga kedengeran, nduk."

"Iya tadi Aku langsung naik bun, capek langsung bebersih."

Rini duduk dipinggir ranjang Alina, bibirnya menyunggingkan sebuah senyum manis sembari menatap lekat wajah sang Putri. Putri yang kini masih miliknya.

Rini tahu mengapa Alina memegang prinsip untuk tidak pernah memulai sebuah komitmen. Gadis itu pernah mengalami kekecewaan pada jalinan hubungan awal untuk pertama kalinya, membuatnya tak percaya lagi tentang hal semacam itu, terlebih sebuah komitmen yang bernama pernikahan. Terlalu rapuh saat ini untuk dimulai, takut-takut tak akan bertahan lama.

"Bunda."

Alina mengubah posisinya menjadikan pangkuan sang bunda sebagai alas kepala. Diresapi usapan tangan Rini pada kepalanya yang kini tak tertutup kain. Satu-satunya tempat ia berkeluh kesah tanpa hambatan.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang