Sudah dua bulan setelah Mas Mahesa berangkat untuk misi perdamain Dunia sebagai salah satu anggota pasukan Garuda. Aku sudah lebih baik. Sudah tidak menangis lagi saat melihat semua hal yang berhubungan dengan pria itu, sesuai dengan pesannya. Satu yang sulit kulakukan adalah datang ke rumah Ibu, aku masih tak sanggup melangkah kesana. Kadang ingin memberi sesuatu ke wanita itu, aku lebih memilih mengantarkannya dengan kurir ataupun ojek online. Tak tahu kenapa, itu sulit dikendalikan. Menghadapi wanita itu lalu berpura-pura tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku tak bisa membohongi Ibu, wanita itu tahu semua hal yang terjadi di hari dimana aku menangis lagi di pelukkannya setelah Mas Mahesa tak tampak lagi.
Dua bulan ini banyak yang berubah. Padahal kepergiannya belum lama, tapi sudah terasa sangat lama sebab tak seperti bisanya yang penuh dengan kesiapan dan kepastian, kali ini yang kurasakan tidak begitu. Aku ingin terus mencebik jika ingat kata-kata Mas Mahesa bahwa semuanya akan tetep sama.
Banyak sekali yang berubah di kehidupanku. Akan kuceritakan dari keadaan kelurga terdekatku. Ingat saat aku datang ke Jakarta untuk kemudian ke Bogor menemui Mas Mahesa, mengantar kepergian pria itu dengan lapang. Aku tak pulang naik kereta, tidak ikut mobil keluarga pria itu juga. Hari itu aku tak pulang ke Brebes sendirian, melainkan bersama Pakle Eko dan juga seorang perempuan sepantarannya, dengan disupiri seorang supir kami sampai ke rumah di Brebes. Perempuan yang kemudian Pakle kenalkan kepada Simbah dan Kakung, juga Ayah dan Bunda lewat sambungan vidio call sebagai calon istrinya. Ibu sambung Mbak Vivi, Mama begitu Mbak Vivi memanggilnya. Kupanggil dia Bukle Ainun, seorang dokter yang mempunyai seorang putra yang sedang menempuh pendidikan di Akmil bernama Fahri. Sebulan kemudian setelah pertemuan hangat itu mereka menikah di Jakarta, semua keluarga datang dan berkumpul disana.
Kabar dari rumah sakit, Tian resmi mengundurkan diri. Dia bersama Ibunya dan anak kembarnya pindah kembali ke Medan tempat asal Tente Maya. Disana ada usaha keluarga yang harus Mama Tian urus. Sebagai pengganti Tian ada satu lagi bidan baru yang datang, Ike namanya, dia yang sebelumnya sempat melakukan penelitian di rumah sakit ini juga. Mbak Riri masih sama, Riana-putri semata wayangnya yang kini mulai menginjak bangku sekolah dasar. Dokter Dio, pria humoris yang dulu agaknya pernah mencoba mendekatiku tak bisa lagi menolak perjodohan orang tuanya. Dunia memang sempit, ingat Leli rekanku dulu di rumah sakit Semarang hubungan LDR yang dijalin dengan pacarnya kandas. Dia perempuan yang dijodohkan dengan dokter Dio. Mereka memang cocok, sama-sama lucu. Undangan sudah kuterima, resepsinya di Semarang. Yang lain masih sama, dokter Ica, dokter Alwi, dokter Ndora dan yang lainnya, kecuali satu orang aneh yang tak begitu kupedulikan tapi sedikit mengusik. Pernikahanku sendiri, sudah diketahui jawabannya.
Mas Mahesa berbohong. Katanya dia akan menelfonku, nyatanya tak pernah sekalipun. Aku hanya pernah dapat satu pesan dari Hanif bahwa mereka telah sampai. Kongo panas katanya, jarang ada rumput hijau seperti di lapangan kesatuan mereka. Setelah itu tak pernah lagi. Tak satupun ada pesan yang hinggap. Aku sengajakan lebih dulu menghubungi, kendati sudah mengepaskan waktu pun tak ada jawaban. Padahal sudah kutekan rasa gengsiku.
Dari pada memikirkannya aku lebih baik mengurusi apa yang ada di depanku, pasien yang sudah datang sejak pagi hari tadi untuk melahirkan. Kutengok jalan lahir, tanpa mengecek pembukaan pun sudah diketahui pembukaannya sudah lengkap. Persalinan harus segera disiapkan.
Kututup lagi selimut pasien.
"Masih lama Sus?" Tanya seorang Pria yang mendampingi pasien. Kemungkinan suaminya.
Aku tersenyum, seragam putih-putih yang melekat di tubuhku. Aku sudah biasa, yang lain pasti juga sudah biasa. Kurasakan seseorang menepuk pundakku, Mbak Ratih berbisik seraya terkikik. "Kalau dipanggil Sus, pengennya masuk RO aja ya Lin."
"Iya disana adem Mbak," sahutku. Beralih pada keluarga pasien. "Sudah lengkap Pak, sebentar saya panggilkan dokternya."
Aku berjalan mendekat ke arah Dokter Alwi, dia tengah memasang sarung tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Midwife Is My Future [AUTHOR NGARET]
RomantikSiapapun tidak akan pernah bisa mencintai untuk kedua kali dengan cara yang sama setelah merasakan suatu kekecewaan. Alina Maudia, seorang bidan cantik lemah lembut. Hanya mengisi hidupnya dengan satu hal. Mengabdi pada Negara dengan membantu proses...