33. Hanya aku, karena aku

3K 270 66
                                    

Alina pov

Masih terlintas di benakku hal yang terjadi di ruang tamu rumah keluarga mas Mahesa kemarin sore. Saat perempuan dari masa lalu Pria itu menertawakanku, juga wajah angkuhnya saat memperkenalkan diri sebagai calon istri Mas Mahesa.

Dan sekarang saat aku ingin pulang ketika jam sudah menunjuk angka sebelas, aku masih harus tertahan duduk di atas kursi panjang di lorong rumah sakit setelah tadi sebelumnya juga tertahan sebab ada perintah untuk mengisi poli kandungan menemani dokter, dan kini ada mbak Rasti yang menahanku untuk pulang.

Mungkin jika memang ada sesuatu yang penting aku akan dengan senang hati menyambutnya, atau paling tidak dengan wajah yang sedikit bersahabat. Namun ini yang terjadi, kami duduk bersisisan dengan sedikit jarak dan dia duduk menyilangkan kaki bak seorang model berwajah tak menyenangkan. Seingatku dulu almarhumah mbak Fira tidak seperti ini padahal benar-benar seorang model. Jika mbak Rasti sering duduk seperti itu, tulangnya tak akan berada dalam kondisi aman. Tapi itu semua terserah dia, mengingatkanpun aku nanti yang ada hanya akan dianggap sombong, mengingat terakhir kali saat aku mengingatkan sopan santun dia membalas tak karuan. Tapi terlepas dari itu semua perempuan di sampingku ini benar-benar membuat jengah, meminta waktu untuk berbicara namun setelah sekian menit belum juga ada kalimat yang dilontarkan. Namun aku masih memiliki sopan santun untuk menyudahi semua kecanggungan ini baik-baik bukan dengan emosi sesuai siklus buoangan yang baru datang.

"Mbak maaf sebelumnya, tapi saya harus pulang, saya butuh istirahat. Kalau Mbak Rasti datang kesini menemui saya hanya untuk mengajak duduk diam, lebih baik Mbak cari orang lain saya harus pulang." Sekian waktu menunggu, akulah yang mengeluarkan kalimat lebih dulu.

"Baik, tunggu sebentar." Ucapnya.

Aku diam tak menyahut.

Hampir selalu aku katakan, tak suka bila hanya terlibat keheningan sekalipun bersama dengan orang yang tidak ku sukai. Aku juga harus pulang ke rumah, sudah beberapa kali Simbah menelfon karena aku  tidak kunjung pulang. Kini sedikit ada pergerakkan Disampingku dia melepaskan tali tasnya dari pundak, meletakkan benda kotak itu untuk berdiri di samping duduknya. Lalu kudengar dehemannya pelan.

"Kamu sudah lama kenal dengan Mahesa?"

Sedikit menengok ke arah mbak Rasti seketika aku menghela nafas. Aku menghamburkan banyak sekali waktu hanya untuk menunggu kalimat macam itu? Astagfirullah

Sudah menduga memang Mbak Rasti yang mengajakku berbicara hanya akan tentang hal ini. Dia bahkan rela menyempatkan diri datang ke rumah sakit ini hanya untuk membahas Mas Mahesa. Aku bingung sendiri, tak tahu apa yang sebenarnya perempuan ini pikirkan. Hal ini bahkan tidak terlalu penting untuk dibahas, sudah jelas hal yang menjadi keputusan. Aku tak bermaksud terlalu kegeeran atau pun pamer.

Lagi pula apakah ini harus diselesaikan antara aku dan Mbak Rasti. Aku pikir ini adalah urusannya dengan mas Mahesa bukan dengan aku. Tapi kenapa perempuan itu harus datang kepadaku ini sungguh sangat menyebalkan.

Aku menghela nafas biarkan semuanya selesai hari ini. Jika pun tak selesai aku tak perduli lagi.

"Mungkin saya belum mengenal mas Mahesa selama Mbak mengenal dia, tapi kami sudah cukup saling mengenal dan tahu satu sama lain." Ucapku yakin saja.

Kami sudah cukup saling mengetahui. Aku tahu bagimana mas Mahesa saat marah. Aku tahu apa yang bisa membuat pria itu menangis. Dan sebaliknya, mas Mahesa selalu bisa menenangkan kesedihan dan kemarahanku. Tapi sejak bersamanya aku tak pernah punya waktu untuk menangis. Terkecuali malam setelah dia melamarku itupun entah bisa disebuat tangisan atau bukan.

Ya baru beberapa bulan memang, tapi aku dan mas Mahesa sudah cukup yakin. Dapat dibuktikan keyakinan aku untuk menerima mas Mahesa yang menawarkan sebuah keseriusan juga, jadi tak perlu ada yang dikhawatirkan lagi jika dari kami dan keluarga kami.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang