65. Malam Midodoreni

2K 184 18
                                    

Alina cukup merasa lega. Sejauh ini semua acara yang berlalu sudah berjalan lancar. Perencanaannya yang matang membuat semua rentetan acara terkondisi dengan baik. Kini jam sudah melewati angka 7 rumah tampak lengang dari tamu luar. Gadis itu tengah duduk seorang diri di kamar paviliun tadi sang Bunda-Rini memintanya hanya diam disana.

Sebentar lagi tiba waktunya untuk malam midodareni yang menurut informasi Bukle Ratih dan pengalaman dari ketiga saudarinya yang sudah dulu melakukannya akan berjalan hingga tengah malam. Alina menghela nafas untuk itu. Sembari menunggu dia kembali membaca kata-kata di ketas dalam genggamannya yang beberapa hari lalu Bukde Ratih minta untuk dibuat, beberapa kalimat yang akan disampaikan pada Ayah dan Bundanya.

Seketika Alina tersadar akan apa yang sedang terjadi. Rasanya baru kemarin gadis itu merengek karena Ayahnya tak kunjung pulang dan Bundanya terlalu sibuk di kantor Jala. Tapi dia juga ingat bagaimana penantiannya untuk hari esok, saat menunggu Regan kembali dari Kongo. Ditarik dari satu sisi semua terasa tiba-tiba, namun di sisi lain ini juga adalah sebuah penantian panjang.

Sedikit juga dia tak menyangka Regan adalah pria yang akan menikahinya. Dulu begitu banyak pria yang berusaha didekatkan padanya, perjodohan dari Bunda, perkenalan dengan prajurit Ayahnya, kenalan dari saudari dan iparnya tapi siapa sangka Alina jutru bertemu Regan untuk lebih saling mengenalkan mereka setelah ia memutuskan pindah ke Brebes dengan sendirinya tanpa kesengajaan siapapun.

Sekali lagi dia mematut wajahnya di kaca kecil, entah sadarkah gadis itu dengan wajahnya yang begitu cantik. Malam ini Alina berbalut gaun brokat biru pastel yang menjadi tema acara malam ini, kerudungnya hanya dipasang sederhana membelit leher dengan selendang tile menutupi puncak kepala. Alina harus menunggu sebentar lagi hingga rombongan dari sang calon suami datang, malam ini Regan juga akan turut serta.

Keheningan yang mengelilingi Alina leyap ketika seseorang mengetuk pintu paviliun yang tertutup.

"Mbak ini, Fahri." Seru suara dari luar.

"Ya masuk aja Fah, ngga dikunci kok." Jawab gadis itu dari tempatnya.

"Aku bahwa Shan sama Qila Mbak."

Seketika gegas Alina berdiri dari duduknya tanpa menjawab lagi. Dijumpainya sang adik sepupu menggendong Shan di depan sedangkan Qila di punggungnya. Kedua gadis kecil itu nampak terlelap nyenyak.

"Kok mereka sama kamu Fah? Mandanya mana?" Tanya Alina heran, dibantunya Fahri menurunkan dua gadis kecil itu dari gendongan, memposisikan tidur mereka supaya lebih nyaman di atas springbed.

"Mbak Airin lagi bantuin beresin tempat di depan." Jawab Fahri, Airin jugalah yang tadi memberi titah. Rian-Yanda kedua gadis kecil itu juga ikut disibukan di depan untuk mengatur tempat di luar.

Alina mengangguk. Disingkirkannya rambut yang menutupi dahi Qila, mengamati wajah gadis kecil yang nampak kelelahan itu. Namun kediaman seseorang yang kini duduk di dekat pintu jutru menarik fokusnya. Malam ini Fahri yang tubuh tegapnya dibalut beskap tampak diam, menatap keluar pada tenangnya air. Alina tak tahu apa yang dipikirkan adik sepupunya, tapi entah mengapa tampak berat.

Alina melangkah mendekati pemuda itu, duduk lebih dekat dengan Fahri. "Kamu lagi ada masalah, Fah?" Tanyanya lembut.

Fahri menengok ke arah Alina. Dia hanya tersenyum, lalu menggeleng.

Alina mengangguk pelan, dia tahu ada rahasia yang tak bisa dibagi. Dia tak akan memaksa Fahri untuk bercerita.

"Mbak..." kali ini Fahri yang memanggil Alina.

"Ya?"

"Aku lihat Mbak Alin bahagia sekali."

Alina tersenyum lembut. "Kenapa harus ngga bahagia?"

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang