63. Durian

2.3K 197 18
                                    

Kami kembali melaju, membelah jalanan. Bersiap pulang setelah tadi sempat singgah untuk menghabiskan satu buah durian berukuaran besar bersama. Sebenarnya aku masih ingin, tapi tak tega melihat Mas Mahesa yang perutnya sudah begah setelah tadi mengabiskan serta porsi sushiku.

Di perjalanan pulang ini lantunan lagu lebih indah dari Adera menemani kami. Sesekali aku bergumam mengikuti, namun Mas Mahesa tidak. Aku bersender pada bahunya atas perintahnya, tangannya juga menggengam tanganku hangat.

"Kita harus nyanyi lagu ini nanti." Aku penuh paksaan.

Mas Mahesa melirikku aneh. "Kenapa harus nanti kalau sekarang pun mas bisa dek."

Aku menghela nafas pelan. "Buat kenang-kenangan Mas, supaya anak kita nanti nyesel ngga diundang di nikahan orang tuanya." Ujarku sebal.

Dia terkekeh. "Kamu yang nyanyi, biar Mas nanti yang iringi."

"Ngga gitu, aku mau kita nyanyi sama-sama." Ah tidak, akan lebih menyenangkan jika Mas Mahesa yang bernyanyi untukku, tapi dia pasti menolaknya. "Saya mau nyanyian Mas Mahesa itu diulang lagi." Pintaku. "Ya, Mas?"

"Malulah dek, cukup kamu yang dengarkan suara mas hari itu."

"Ih, tapi Mas juga harus buat aku merasa bangga punya suami yang suaranya merdu sekali." Oke aku mulai sedikit berlebihan.

Mas Mahesa terkekeh. "Nanti kalau kita sudah satu rumah, setiap jam tujuh pagi mas akan menyanyi buat kamu."

Aku mendelik. "Jam tujuh pagi itu jadwal Mas apel pagi yah, Mas kira aku lupa."

Dia terkekeh.

Ya sudahlah, dia tidak mau. Artinya aku tidak bisa memaksa lagi. Mas Mahesa punya HAM yang juga harus kuhormati.

"Ya sudah kalau Mas ngga mau nyanyi, cukup bacakan surah Yusuf dan Maryam saja nanti untuk anak kita sejak di dalam kandungan."

"Insyaallah..." jawabnya, dia menatapku tersenyum. Tangan Mas Mahesa menggegam jari-jariku.

Perjalanan yang dalam waktu nyata adalah lima puluh menit kini hanya terasa satu menit, ketika mobil Mas Mahesa memasuki pelataran rumah Simbah. Kulihat rumah sedikit ramai. Tenda-tenda tampak sudah terpasang hingga ke halaman depan rumah Pakle Eko dan rumah Ayah di belakang, saat aku berangkat semua ini belum tertata. Ada mobil Ayah berplat militer juga yang terparkir rapih di dalam garasi yang terbuka, beberapa ajudan duduk rapih di kursi yang sedikit mulai ditata.

Aku masih diam di tempat dudukku, di sampingku Mas Mahesa telah membukakan pintu.

"Ayo turun dek," ujarnya.

Aku menggeleng, masih enggan dan tetap duduk. "Harus ya, Mas?" Tanyaku. "Padahal saya masih rindu sekali."

Aku menyesali tingkah bodohku untuk mendiamkannya selama aku di Jakarta. Kami tak akan bertemu juga seminggu kedepan, selama dalam masa pingitan. Bunda sudah mewanti-wanti, kami tak boleh berbalas pesan, panggilan atau komunikasi jenis apapun.

"Mas juga rindu kamu, rindu sekali." Ungkapnya. Matanya menatapku begitu dalam.

Aku menghela nafas berat. "Kenapa harus ada pingitan sih, Mas?"

Kulihat Mas Mahesa menggaruk sudut alisnya, dia kebingungan. "Mas juga sebenarnya kurang paham, selain pingitan itu tradisi. Tapi kamu bisa tanyakan ini kepada Bunda."

Ah Bunda, pasti wanita itu juga ada di dalam. Kudengar sehari setelah aku berangkat ke Jakarta Bunda datang kesini.

"Bunda ada?"

"Iya." Mas Mahesa tak menatapku.

Dia fokus bermain dengan puncak kepalaku dan mengelusnya pelan. Aku tak tahu mengapa dia suka melakukan itu. Tapi entah mengapa aku sedikit curiga.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang