35. Rentetan pengajuan nikah.

3.4K 243 42
                                    

Alina Pov.

Kembali ke rutinitas biasa, selalu begini memang. Singkat cerita setelah berhari-hari lalu aku mendiamkan Mas Mahesa, meminta dia merampungkan masalalunya akhirnya usai. Kami akhirnya sudah baik-baik saja. Emm... maksudku, aku sudah tak mendiamkannya, dan kami selalu baik-baik saja hanya perasaan dan fisik yang kadang sakit, pegal, migrain dan kelaparan sebab telaf makan kadang.

Sebenarnya tak tega melakukannnya, namun jika aku tak menekannya seperti itu mungkin Mas Mahesa juga tak akan sadar dimana letak salahnya. Greget sekali aku jika mengingatnya, sudahku kode-kode kok tidak peka-peka, mau bicara langsung tapi itu bukan masalah milikku atau milil kami melainkan miliknya dan Mbak Rasti yang tak bisa membuatku langsung to the point. Mas Mahesa memang begitu kalau masalah kode perempuan, eh yang kumaksud perempuannnya adalah aku, Meisya dan Ibu saja, seperti ketika Ibu memintanya pula ke rumah tetapi dengan kode bahwa rumah sangat sepi dan mengulas kenangan saat Pria itu kecil lewat sambungam telephon ketika aku di samping beliau, Mas Mahesa masih tak mengerti hingga kuminta ponsel Ibu dan kubilang pulang tengok Ibu sudah lama kamu ngga pulang padahal satu kota. Lain jika ku kode kado ulang tahun apa untuknya secara tersirat dia baru langsung mengerti, menyebut senjata senapan serbu jenis SS3 buatan PT. Pindad enak sekali katanya saat digunakan. Tidak masuk akal sekali, terakhir kali percakapam tak bermutu yang kami bangun entah mengapa justru menyasar kesana. Lah mana mungkin benda itu bisa jadi kado ulang tahunnya.

Sebenarnya aku masih ingin marah kepada Mas Mahesa, tapi ketika tak sengaja berkunjung ke rumah Ibu setelah shift malam rasanya tak tega untuk melakukannya saat mengetahui dia sakit denga wajahnya yang sudah hitam memerah pembatas jalan raya.

Aku memang masih rutin berkunjung ke rumah Ibu meski sembunyi-sembunyi dari Mas Mahesa saat itu, walau harus menelfon terlebih dahulu apakah Pria itu ada atau tidak. Tapi kali itu tak kusangka dia ada disana saat Ibu memintaku mampir.

Jika berpikir alasan sakitnya Mas Mahesa yaitu aku adalah salah, hanya manusia kurang kerjaan yang memikirkan itu, sebab penyebabnya hujan, lemah sekali memang dia. Tapi sepertinya tak hanya itu saja, pola makannya juga sangat tak teratur, katanya tak ada yang mengingatkan. Mulutnya kini semakin lihai membual, beda dengan pertama yang hanya banyak diam, hanya menjawab seperlunya saja. Bisa saja memang dia, tapi tampaknya hampir semua orang begitu sebab kuakui akupun semakin cerewet kepadanya.

Bicara lagi tentang masalah yang belum rampung itu, jika ditanya bagaimana aku tahu lamaran itu belum kembali, maka jawabannya, Mbak Rasti yang mengirim salah satu foto yang dia unggah di sosial media kepadaku lewat dirrect messeger, di dalamnya memuat dia dengan kebaya yang tampak anggun dan sebuah kilauan cincin yang kusyukuri masih di jari manis kanan yang bahkan masih dia pakai ketika mendatangiku ke rumah sakit, baru lamaran. Beberapa ketikan kata sebagai pelengkap foto itu untukku.

Posisi kita sama

Tapi kata Ibu kini tak perlu dikhawatir lagi. Semua sudah selesai semalam dia memberi kabar ketika aku tengah berjaga di ruang bersalin setelah panggilan dari Mbak Rasti baru saja berakhir. Memberiku jawaban atas syokku sebelumnnya ketika Mbak Rasti tiba-tiba meminta maaf untuk sudah menganggu lewat sambungan telepon. Aku sungguh kaget, terpikirkan dia punya nomer ponselku pun tidak sama sekali.
Tapi sudahlah kata Mbak Rasti seberapapun kerasnya dia berusaha membuat Mas Mahesa kembali padanya jika ada aku, rasanya percuma.

🏥🏥🏥

Dan waktu memang selalu cepat untuk berlalu. Kini aku ada di perjalanan dari Semarang ke Brebes bersama Bunda dengan kereta. Sebenarnya Ayah tak memperbolehkannya, tapi ketika Bunda mengengungkit bahwa ini salah Ayah yang mendahului pulang lebih dulu saat pertemuan keluarga sebelumnya di rumah Kakung dan Simbah, Ayah hanya bisa diam atas kekapokkan Bunda. Lucu saja kalimat panjang Ayah lululantah hanya dengan satu jawaban Bunda, "Salah Bunda? wong Ayah yang duluin pulang ke Semarang. Kalau seperti perintah Ayah nanti mau ninggalin Bunda lagi? Mending ndak usah kapok!"

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang