23. Pertanyaan ruwet.

3.8K 267 22
                                    

Alina Maudia Nafillah

Motor yang mas Mahesa kemudikan memasuki gerbang tinggi, lalu kuda besi putih itu berhenti di pelataran rumah besar berlantai dua ini. Rumah besar yang terletak di sebuah perumahan di pinggiran Slawi. Rumah yang mungkin tadi dia maksud milik orang tuanya. Rumah dengan halaman luas dan berwarna serba putih.

"Sudah sampai," Suara mas Mahesa pelan.

Aku menurunkan kakiku satu persatu yang kini tak menggunakan alas kaki, membiarkannya menyentuh batako yang dingin. Berdiri di samping mas Mahesa yang tengah memposisikan letak motornya, setelah menyerahkan helm yang tadi kukenakan kepada Pria itu.

Kuamati sekeliling halaman rumah ini, cukup luas dengan sebuah tanah yang disekat dan dibiarkan tidak tertutupi batako untuk dibuat sebuah taman kecil. Persis seperti taman kecil milik Bunda di rumah Semarang.

Benar-benar mengingatkanku pada Wanita itu, padahal baru saja semalam kami saling menghubungi via vidiocall. Bunda tampak bahagia memamerkan sepasang cucu kembar baru dari mbak Dila, si putri Inara Hilya Khumaira dan Ganindra Elang Wicaksono, mereka begitu lucu yang berusia hampir satu bulan. Saat kedua bayi itu genap berusia empatpuluh hari akan diadakan aqiqah, dan aku akan pulang ke Semarang untuk menghadirinya.

Tuk...tuk...tuk...tuk...

Baru saja mas Mahesa berdiri tegak disampingku, setelah selesai berurusan dengan motornya kami dikejutkan dengan suara keras langkah cepat yang terdengar dari dalam rumah. Sepertinya hanya aku yang meresa dikagetkan dengan suara itu, kulihat Pria disamping hanya memasang ekspresi biasa seakan itu adalah hal yang tak akan pernah ditanyakan orang lain.

Tapi kali ini dia salah aku terlalu takut dan khawatir. "Masnya tadi denger suara kaki?"

Tolong Alina jangan terlalu parno ini jelas bukan sesi bertemu calon mertua juga bukan acara uji nyali sepeti di tv, hanya kebetulan bertamu untuk merepotkan orang lain.

"Tenang aja itu paling adik saya," Jawaban mas Mahesa malah membuatku semakin khawatir.

Bagaimana jika aku tak disambut dengan baik? Seperti bertamu ke rumah Tante Maya misalnya?

Tapi sekali lagi respon yang aku bisa berikan hanya anggukkan.

"Eee... Alina..." Aku tahu suaranya terdengar ragu.

"Kenapa Mas?"

Mas Mahesa hendak menjawab, namun baru sempat dia membuka sedikit mulutnya pintu lebar yang ada di teras terbuka, menampilkan seorang wanita paruh baya dan seorang remaja perempuan.

Aku terkejut, tidak bukan hanya aku, sepertinya mas Mahesa juga terkejut. Tapi dia bisa dengan cepat mengusai diri, sementara aku bingung harus apa.

Terlebih saat dua perempuan itu berjalan mendekat tempat kami berdiri.

"Assalamualaikum..." Wanita yang lebih tua memberi salam.

"Waalaikumsalam," suaraku tak seberapa dibanding suara mas Mahesa saat menjawab salam itu.

"Sudah pulang Mas?" Tanya wanita itu, mungkin panggilan 'mas' mengarah pada mas Mahesa.

"Sudah Bu,"

Aku semakin kikuk, terlebih saat mas Mahesa mengulurkan tangannya, menyalimi tangan wanita itu dan disalimi oleh remaja yang berdiri disampingnya. Pandangan wanita itu mengarah kepadaku, dia terlihat ramah menatapku dengan senyuman keibuan.

Bolehlah aku sejenak tenang.

"Wah ini siapa, Mas ?" Aku hanya tersenyum kecil, haruskah kali ini aku yang menjawab pertanyaannya. "cantik sekali kamu, nak."

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang