40. Boleh, boleh

2.2K 189 17
                                    

Alina pov

Aku berdiri di tepian ballroom Plaza hotel Tegal. Menikmati pemandangan yang kini sedang berlangsung tepat di hadapanku, suara genderang dan puisi yang dibacakan juga mengalun indah memenuhi ruangan. Semua orang yang hadir menghayatinya dengan hikmat sembari berdiri, beberapa merekam vidio dengan kamera. Pandanganku mengarah kepada Mas Mahesa yang memimpin pasukan.

Fokusku kini masih sama pada Mbak Tira yang menggandeng erat lengan suaminya. Kowal dengan pangkat Serma itu tampak cantik dengan gaun brokat kuning gading dan tatanan rambut yang elegan berhiaskan beberapa bunga perak, digandeng seorang Mayor angkatan darat. Mereka tampak serasi dikelilingi oleh pasukan pedang pora yang membentuk formasi melingkar, melambangkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan selalu melindungi dan dalam menghadapi berbagai rintangan hidup kedua mempelai akan selalu ingat dan memohon perlindungan.

Sudah berpuluh kali aku melihat hal di hadapanku ini, entah sangkur atau pun pedang pora, angkatan darat-laut-udara atau Polri rasanya selalu membuatku terpesona dan takjub. Hal paling romantis yang pernah kulihat secara langsung adalah ini. Tapi jangan pernah sangka aku memilih Mas Mahesa menjadi pendamping hidupku hanya untuk merasakan sensasi luar biasa berjalan di bawah hunusan pedang dan alunan puisi seperti tiga saudariku. Dulu aku sempat ragu, satu karna Kak Bagas yang mengecewakanku dan dua melihat contoh sekeliling dimana menjadi pendamping orang-orang itu terasa sangat berat. Tapi kini aku rasanya siap, tak sabar untuk itu yang kini hanya tinggal menunggu kurang dari dua bulan dan selamanya aku akan berjalan bersama pria itu. Jadi pedang pora hanyalah sebuah pemanis awal kehidupan baru sebelum mendapat berbagai cobaan.

Tiga puluhtujuh hari lagi aku akan melaluinya, di hotel yang sama ini dan semua persiapan yang sudah siap hanya menunggu hari-H. Kendati semua dirasa sudah siap aku dan Mas Mahesa kompak tak akan memajukannya, biarkan kami sedikit berjarak beberapa waktu lagi. Menikmati jeda yang tercipta untuk sebuah perasaan yang lebih bahagia. Tapi kini aku sudah bisa membayangkan berjalan diatas karpet merah itu, dibawah hunusan pedang dengan gaun cantik dari butik pilihan Ibu dan Mas Mahesa dengan seragam pakaian dinas upacara 1nya.

Ah kadang saat menghayal aku tak tahu tempat dan tak bisa diatur, hingga kurasakan sebuah tepukan mendarat di pundakku disusul tangan kasar Mas Mahesa yang mencubit hidungku. Tangan kasar yang selalu saja hangat. Pria itu berdiri di sampingku, kami berdiri berdua menatap antrian yang masih mengular panjang untuk bersalaman dengan pengantin. Biarlah jadi yang terakhir.

"Masnya jail banget." Sungutku setelah mengaduh.

Mas Mahesa tersenyum seperti biasanya, gagah dimataku. "Jangan melamun sambil tersenyum seperti itu, kamu menarik terlalu banyak pasang mata untuk memperhatikan kamu dek."

Kali ini aku tersenyum. "Saya tahu, saya memang secantik itu." Akuku percaya diri.

Mas Mahesa tergelak disampingku renyah. Dia menghembusakan nafasnya dengan sedikit suara, mencuri fokusku. Kuhadapkan tubuhku untuk berada di depannya. Aku lebih suka nafasnya yang tersendat seusai berlari dari pada helaan nafas itu yang kadang mengisi jeda diantara kami.

"Tapi saya masih suka mendapat pujian dari Mas Mahesa." Sambungku lagi.

Aku tersenyum kepada Mas Mahesa. Tanganku terangkat menyentuh dasi di balik jas PDU 1nya. Sepertinya ini waktu yang tepat untuk aku menyuarakan keresahanku.

"Kamu cantik dek," pujinya.

Lagi aku tersenyum, kini tanganku beralih pada kerahnya. Sedikit bingung juga mau memulai. Sebenarnya ini tak seperti aku yang biasanya, dimana kami bisa membahas apapun tanpa rasa sungkan. Namun tampaknya Mas Mahesa menyadari kegamanganku dengan cepat. Belum sempat aku meluruskan kerahnya yang sudah lurus agar semakin lurus tangannya lebih dulu mencegah jemariku untuk bergerak.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang