54. Janji yang tertepati.

1.6K 212 26
                                    

Aku menjabat tangan para pejabat Universitas tempatku mengembil gelar S2 yang hari ini resmi kusandang, memberikan satu-dua patah kata sebagai perwakilan angkatanku. Kini berubahlah gelar di belakang namaku, Alina Maudia Nafilah M.Keb, lululusan terbaik angkatanku. Namun semua hal bahagia yang kudapat hari ini masih tak bisa membuat aku tak murung saat melangkah turun dari panggung. Aku bisa melihat Bunda dan Ayah yang duduk di barisan bangku para keluarga 27 mahasiswi yang di wisuda hari ini, sebelum aku kembali duduk di bangku semula. Aku tak ingin tersenyum mulanya, namun tak ingin membuat mereka khawatir dengan wajah nelangsaku.

Sempat berfoto dengan satu angkatan ini, sebelum kami berpecar kepada keluarga masing masing. Aku sempat berpelukan dengan Fani sebelum dia berjalan ke arah orang tuan dan suaminya yang juga hadir hari ini, suami Fani bahkan sengaja menyempatkan diri cuti untuk menyambutnya dengan pelukkan.

"Bisa dipikirin Lin, jadi dosen disana ataupun S3nya..." ujar Fani berbisik seraya melepas pelukan kami.

Aku tak tahu, tak kuberikan jawaban apapun selain senyum simpul lemahku.

Aku memang mendapatkan beberapa kabar baik. Lulus S2, tawaran S3 dan tawaran untuk menjadi dosen di salah satu sekolah tinggi kesehatan di Surakarta. Yang terkahir memang menggiurkan. Aku ingin menjadi dosen, tapi malu rasanya. Baru waktu itu aku meminta mutasi, dan harus melakukan hak yang sama, berbeda instansi pula. Bisa saja menjadi seorang dosen di Brebes ataupun Tegal tapi tak ada universitas negeri disana, rasanya masih sedikit berat bila harus melepaskan status PNSku saat tak memiliki alasan yang begitu menggugah.

Dulu pernah kudiskusikan bersama, Bunda dan Ayah, juga Mas Mahesa. Aku ingin menjadi seorang dosen agar memiliki waktu yang sedikit longgar untuk anakku, tidak bekerja dengan sistem shift lagi. Meski jadi seorang bidan ya bisa, rumah sakit memperbolehkannya, asal ada alasan yang jelas seperti kelurga untuk permohonan jam kerja tetap. Tapi nyatanya manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Semua rencanaku meleset, mana ada keluargaku sendiri, apalagi anak.

Kuhembuskan nafas pelan teringat akan Mas Mahesa, dia sudah pergi terlalu lama. Dulu katanya dia harus ada di foto wisuda S2ku, nyatanya dia tak ada sekarang. Hampir dua tahun ini aku hanya menunggu angan semu. Janjinya dua tahun lalu dia akan kembali setelah satu tahun. Mas Mahesa pembohong. Mungkin saja dia sudah bahagia dengan seorang perempuan yang dia temui disana, melupakan janjinya padaku.

Aku berjalan melangkah keluar dari gedung, baju wisudaku telah kubuka, ku lipat diatas tangan bersama beberapa kertas yang susah payah kuperjuangkan. Kini tampak kebaya merah maroon yang melekat di rubuhku dipadu rok lilit batik coklat, sengaja Bunda pesankan di butik langganannya. Jika kutahu hari ini akan begitu menyedihkan lebih aku aku tak bangun tadi pagi. Tak menurut saat Bunda memaksa mengantarku ke salon untuk merias wajah.

Sekian jauh kakiku melangkah hingga aku sadar tak menemukan satupun keluargaku disini. Kukira Mbak Dila atau pun Viona datang juga, tak tahu dimana posisi Bunda dan Ayah saat ini. Kuperhatikan keadaan sekeliling semua orang bergerombol bersama keluarganya masing-masing. Kulihat Mbak Raya, bidan asal Jepara yang tengah menggendong anak keduanya yang masih bayi. Aku tertawa, menertawakan diriku sendiri. Keluargaku kini bahkan tak ada. Ponsel dan tasku tadi juga masih berada di mobil Ayah lupa kubawa.

Menghelan nafas pelan, aku butuh ke toilet, setidaknya disana tak akan ada yang membuatku iri dan membuatku kurang bersyukur. Kuputar tubuhku menuju toilet, tak lama aku keluar barangkali sudah ada Ayah dan Bunda yang menungggu. Aku berjalan kembali menuju pelataran gedung wisuda. Tapi nihil, halaman gedung justru kini semakin sepi, meski masih ada beberapa orang. Namun dari kejauhan ada sesuatu yang lebih mengejutkanku.

Seorang pria tinggi berdiri di bawah terik membawa buket besar bunga kuning. Tubuhnya tinggi tegap dibalut kemeja batik panjang dan celana bahan hitam dengan pantofel. Matanya menyipit melawan terik melihat ke arahku, di sisa matanya yang terbuka aku dapat melihat iris pekat itu. Mas Mahesa, Dia berdiri disana tersenyum ke arahku.

Untuk seketika aku tak tahu harus bagaimana. Langkahku terhenti di tempat lalu berdiri, masih beberapa langkah untuk sampai kehadapan pria itu namun aku tak kuasa untuk melakukannya. Aku perlu menyadarkan diriku untuk berhenti berhalusinasi. Mas Mahesa tak mungkin ada disini, kukatakan pada diriku sendiri. Tapi mataku masih cukup jelih mengenali pria itu dengan bantuan lensa kontakku. Mata kami masih saling menatap lurus, aku masih tak tahu harus melakukan apa.

Kugigit bibirku, aku tak mau menangis. Tapi yang kurasakan kini persis seperti mendapat surat tilang kali pertama kami bertemu. Demi riasan ini aku harus keluar dari rumah pagi-pagi, enak saja make-up ini harus luntur karena kedatangannya yang tiba-tiba. Satutu lagi alasanku untuk membencinya muncul, mengapa Mas Mahesa selalu mengejutkannya saat aku tak begitu menyukai kejutan. Tapi lagi-lagi aku tak bisa menahannya. Satu-persatu air mata turun menyungai di pipiku, tumpah setelah menggenang di pelupuk mataku.

Selanjutnya isak tak bisa tertahan lagi, aku berjongkok menjatuhkan semua yang ada ditanganku ke atas tanah, meski sedikit sulit dengan rok ini tetap kupaksa. Aku tak perduli pada suara orang-orang yang masih tersisa berbisik-bisik, tampaknya mereka melihat ke arahku, yang kulakukan hanya menangis. Jika ini mimpi aku harus segera bangun. Jika ini nyata aku tahu menangis dihadapan umum adalah salah satu kelemahan yang sangat memalukan.

Aku menangis, terisak-isak. Tanpa perlu melihat cermin aku sudah tahu pasti make-upku kini sudah rusak. Lensa kontakku pun sudah hilang entah kemana. Kurapatkan bibirku, menekannya pada lutut agar tak bersuara. Kurasakan langkah kaki dari subjek itu mendekat. Sepatu mengkilat di depanku, tepat berdiri pria itu. Aku tak ingin mendongak, hanya terus menangis. Memperhatikan gerak Mas Mahesa, dia membungkuk, meletakkan buket bunga kuningnya yang ternyata mawar kuning ke batako di samping ijazah dan beberapa barang-barangku yang lain sebelum akhirnya kembali mundur dan berdiri satu langkah di depanku. Dapat kulihat kedua tangannya bertumpu pada lutut, Mas Mahesa membungkuk di hadapanku.

"Maaf mas terlambat..." Suara itu masih sama.

Aku ingin melihat wajah itu, mendongak untuk memastikan bahwa dia adalah seseorang telah kunanti sekian waktu itu.

Dia memang terlambat, amat sangat terlambat.

"Kenapa harus datang lagi?" Tanyaku ketus.

Perempuan memang selalu seperti itu. Begitu perasa, namun seringnya yang dikatakan tak sejalan dengan perasaan. Dalam hati ingin lekas memeluknya, tapi yang dikeluarkan justru kalimat macam itu.

***************************************************
Minggu, 29 September 2019.

Terimakasih untuk yang mau membaca dan masih menunggu cerita ini. Sebenernya part ini sudah ditulis lama. Cuma jalan di tempat waktu nulis part 56 jadi berimbas ke past itu. Mohon menaklukan juga buat banyaknya tuku dan kalimat yang ngga nyambung.

Clue buat past depan, bakal ada sesek tanya jawab😂😂

See you next part Mbaknya 🍏😊😊

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang