29. Bimbang

2.7K 209 20
                                    

Alina pov

"Saya sudah sampai beberapa hari. Maaf baru bisa mengabari, Alina." Ucap suara yang disana setelah kami saling membalas salam.

Suara dari mas Mahesa yang baru bisa kudengar setelah tiga hari kulewati tanpa kabarnya. Aku maklumi saja, walau perasaanku entah mengapa sudah tiga hari juga terus merasa tak enak. Pergi tak semangat, pulang pun aku sengaja memutar lewat Tegal Kota agar jauh. Rasanya sepi. Dan tidak mengenakkan. Bingung sendiri padahal aku juga tak dalam masa haid. Bula masa haid pun tak sampai begini, paling mengeluh tentang jerawat yang muncul kepada Pria itu beberapa bulan terakhir.

"Ya," kusahut pelan, tak ada keinginan untuk menjawab panjang kali lebar.

"Kamu sakit Alina ?" Nadanya terdengar khawatir.

Menyesal di dalam hati, aku tak seharusnya begini kan ? Yang ada akan menjadi beban pikiran untuk dia yang berada di sebrang telefon. Berusaha kubasahi tenggorokanku, agar suara bisa melewatinya dengan baik.

"Aku ngga apa-apa Mas, agak capek aja."

"Kamu butuh istirahat,"

Aku yang disini hanya mengangguk, menyingkirkan fakta bahwa dia tak bisa melihatku.

"Masih di rumah sakit ?" Tanya mas Mahesa lagi.

Seketika pandanganku menjelajah ke tempatku sekarang berada. Aku masih di lorong rumah sakit, duduk tepat dibangku di depan mesin absen otomatis. Setelah tadi sebelumnya baru saja menutulkan jari untuk absen pulang. "Ya baru saja absen pulang,"

"Disini sudah jam duabelas lewat, saya baru selesai solat Ashar." Lah Bandung dan Slawi masih satu waktu wilayah, kan? Mungkin dia mencoba melucu, tapi aku tak berniat tertawa. "Kamu sudah solat, Lin ?"

"Sudah. Masnya sudah ?"

"Sudah."

Kami saling diam, biarlah dia memikirkan topik selanjutnya yang akan menjadi bahasan. Aku masih disini dengan sejuta kegundahan.

"Alina kamu sudah mulai terbiasa, saya tinggal untuk beberapa hari ?"

"Sedikit,"

"Biasakan yah, barangkali nanti akan lebih sering dan lebih lama. Saya harap saat hari itu datang saya tidak akan terlalu berat meninggalkan kamu."

Aku menggigit bibir dalamku, setelah berdecih tanpa suara. Haruskah saat aku sedang bimbang dengan perasaanku sendiri dia malah mengatakan hal macam itu. Mas Mahesa tak cukup peka untuk mengerti bagaimana perasaaku sekarang yanh sedang tak karuan. Satu-satunya jawaban yang bisa kukeluarkan hanyalah gumamman.

"Alina singgah ke rumah Ibu," Aku diam, kalimatnya kurang lengkap. "istirahat sebentar sebelum pulang."

"Ngga apa-apa Mas, kalo cuma naik motor pulang masih bisa." Kuberitahu, entah lupa sejak kapannnya aku mulai terbiasa berangkat dan pulang kerja naik motor jika siang hari. Hitung-hitung latihanku untuk mandiri kan, supaya terbiasa.

"Ada yang Ibu mau bilang juga."

Aku melihat jam yang ada dipergelangan tangan. Masih bisa. Mungkin aku nanti bisa solat ashar di rumah Ibu lalu pulang. Sesudahnya kami kembali diam. Aku bingung akan menanyakan hak ini ke mas Mahesa atau tidak, takut-takut akan mengusiknya.

"Alina boleh saya bertanya?" Namun mas Mahesa mendahuluiku. Sekaligus menyadarkanku akan suaranya yang sedikit berubah. Tak pernah rasanya percakaoan kami segari ini sebelumnya, sekalipun hanya lewat ponsel.

"Mas sakit ?" Aku sedikit khawatir. Bagaimana mungkin dia sakit saat sedang diluar kota untuk suatu hal yang tampaknya penting itu.

"Tidak,"

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang