19. Let me introduce my self

3.4K 209 7
                                    

Alina Maudia Nafillah

Aku berjalan di samping seorang wanita yang tengah mengenakan pakaian yang sama seperti yang tengah kukenakan. Melangkah melewati lorong RS Slawi setelah masuk lebih dalam dari lobi.

Ini sudah hari senin, terhitung ini adalah hari keempat aku tinggal di rumah Kakung dan Simbah, dan kini jam menunjukan pukul 06.32 pagi hari pertamaku mulai bekerja di RS kembali.

Menengok setiap kaca yang kulewati, sekedar untuk memastikan bahwa penampilanku benar dan semua tak ada yang terlewat. Entah mengapa begini, aku tak tahu. Telah dua malam aku terus tidur dengan gelisah, memikirkan semua perkataan mbak Vivi tempo hari. Berniat untuk menelfon Bunda, tapi wanita cantik itu tengah ada kunjungan dinas bersama Ayah di Surabaya, begitu yang mbak Ita-art Bunda katakan ketika aku menghubungi rumah Semarang.

Aku tak tahu apakah raut grogiku terlalu jelas atau bagaimana hingga terbaca oleh Kakung. Niatku pagi tadi berniat untuk berangkat seorang diri di hari pertamaku dengan salah satu matik yang terparkir di garasi rumah, namun pria itu tak membiarkannya, dengan terpaksa aku menuruti perintah beliau untuk berangkat diantar supir.

"Ngga usah gugup Mbak Alina," wanita disampingku berujar ramah.

Aku tersenyum canggung, tak tahu harus merespon bagaimana. "Panggil saja Alina Mbak,"

Aku tak habis fikir pada diriku sendiri. Mengapa lamban sekali dalam memberi respon pada orang lain akhir-akhir ini, apakah aku perlu cek-up lengkap? Tapi sepertinya ini hanya karena aku yang sudah terlalu lama tak bisa akrab baik dengan orang lain, adaptasi harus kumulai perlahan.

"Oh kalo begitu panggil Tian saja, kayaknya kita juga sepantaran." Wanita itu berucap dengan sebuah senyum menghiasi wajahnya. Dapat kuamati dia adalah tipe wanita supel dan ramah, sejauh ini.

Melewati lorong panjang menuju ruang persalinan terasa tak lagi terasa begitu membosankan kala terlewati bersama percakapan ringan dengannya. Semua obrolanku tersambung dengannya.

"Kamu udah nikah Lin?"

Tak tahu mengapa refleks aku menahan nafas sejenak, ketika kalimat tanya itu terlontar dari Tian. Namun cepat-cepat aku berusaha terlihat biasa.

Tersenyum simpul, menggeleng adalah satu-satunya jawaban yang wajar saat ini.
"Belum dipertemukan,"

Aku tak balik bertanya sebab sudah dapat menerka dari perut wanita itu yang sudah tampak membesar, lebih baik kutanyakan hal lainnya.
"Sudah berapa bulan?"

"Lima bulan," Tangannya terangkat mengelus perut yang ada dibalik kain bajunya.

"Wah kembar yah?" Aku menebak, pasalnya itu terlalu besar untuk ukuran sarang satu janin berumur lima bulan.

Entah mengapa aku ikut bahagia, ingin rasanya suatu saat nanti hal itu juga berlangsung padaku, tapi nanti saat aku sudah memiliki seorang suami. Perasaan ini adalah juga mengapa aku memilih menjadi seorang bidan, ketahuilah membantu kelahiran dan melihat keadaan malaikat-malaikat kecil itu begitu menyenangkan.

Tian mengangguk, kami tersenyum sama sumringahnya. "Doain yah..."

Aku mengangguk antusias, tak perlu dia minta pun akan ikut kudoakan. Semoga kelak bayi-bayi itu akan tumbuh dengan sehat dan menjadi anak-anak yang selalu bisa membahagiakan dan membanggakan.

Namun ngomong-ngomong soal ibu hamil aku jadi teringat pada kakak keduaku, mbak Dila. Menurut pemeriksaan dokter juga kehamilannya diprediksi adalah kehamilan kembar dengan salah satunya perempuan, sedangkan bayi lain masih bersenyumbunyi. Bagaimana yah keadaannya? Apalagi sekarang bunda tengah berada di Surabaya, semoga ia tak kesepian sebab mas Irham yang selalu sibuk di Polda. Kemarin saat aku menelfon ke rumah wanita itu tengah pergi ke luar. Aku menyesal tidak ada saat ia melahirkan nanti, padahal mbak Dila meminta agar aku yang menanganinya nanti, minimal aku mendapinginya di ruang bersalin pintanya. Tapi sepertinya tak akan bisa, dan aku menyesal untuk itu.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang