18. On the way

4K 199 7
                                    

Tok...tok...tok...

Suara ketukan pintu dari luar menyadarkan Alina dari kejadian yang telah berlangsung bertahun-tahun yang lalu. Mengernyit aneh mengingat Simbah yang tadi berpesan untuk menjaga rumah karna tak ada orang selain dirinya, art yang bisa bekerja untuk rumah ini berhalangan hadir karena anaknya tengah sakit sementara itu tukang kebun sekaligus supir tengah mengatar Isah untuk mendatangi Kakungnya di gudang simpan. Sebenarnya Alina ingin ikut tapi Simbah melarangnya mengatakan agar lebih baik gadis itu beristirahat di rumah.

Alina meraih kembali kain yang baru saja ia letakan di gantungan baju, membalutkan kembali ke kepalanya. Lalu berjalan menuju pintu yang cukup jauh dari tempatnya berbaring. Kernyitan di dahinya semakin dalam, ketika tak lagi mendengar tanda-tanda ada seseorang dibalik pintu.

"Siapa?" Tanya Alina bersuara, namun tak mendapat tanggapan. Tangannya meraih pintu.

"KEJUTAN!!!" Alina dibuat hampir terjengkang kebelakang mendengar teriakan seorang wanita di depannya.

Mbak Vivi, begitu kerap ia memanggil gadis di depannya. Ralat bukan lagi gadis sejak di persunting seorang perwira polisi sehabis lebaran tahun lalu. Selalu profesi semacam itu yang ada di keluarganya, bahkan ia sendiri rasanya tak diberi pilihan lain profesi sebagai kriteria suaminya, sepertinya pun akan sama. Baiklah lupakan itu sejenak, tampaknya ada hal lain yang lebih menyenangkan untuk dibahas.
Vivi adalah satu-satunya sepupu dari Ayah yang Alina miliki, anak sematawayang pakle Eko, adik Lukman yang berdinas di Mabes-AD. Sebenarnya Vivi lah yang seharusnya memanggil gadis itu dengan sebutan 'mbak' namun mengingat usia Vivi berada diatasnya membuat Alinalah yang harus memanggil dengan sopan.

Menggeleng tidak percaya mendapati hal yang ada tepat di depannya. Perayaan ulang tahun sudah didapatkannya beberapa waktu lalu, juga sebagai pengingat ia bukan lagi seorang anak kecil yang perlu kejutan semacam ini, kini ia adalah seorang gadis 23 tahun.

Alina bingung harus bereaksi seperti apa menjumpai hal dihadapannya. Vivi berada di hadapannya masih dengan setelan pink dan kerudung yang dimasukan kedalam baju, seperti baru saja mengunjungi acara perkumpulan istri polisi.

Dor...
Tabung panjang yang sedari tadi Vivi genggam meledak, menerbangkan kertas-kertas kecil mengkilap. Berjalan menuju meja di samping pintu untuk meraih sebuah kue tar besar, berhias buah kesukaan Alina.

Senyum yang menghiasi wajah di depannya membuat Alina juga ikut menampakan deretan gigi rapihnya. Tak manyangka juga akan mendapat kejutan macam ini. Kekanakan memang tapi menyenangkan.

"Ibu bayangkhari..." Alina merentangkan kedua tangannya.

"Midwife..." Vivi berseru menimpali.

"Mbak Vivi..."

"Alina..."

Tak memanggil kembali, tampaknya sesi panggil-pangghilan harus diakhiri. Tak akan ada ujungnya bila salah satu tak ada yang berhenti.

Selalu begitu, tingkah konyol Vivi yang selalu mampu menghibur orang-orang di sekitarnya. Namun sepertinya Alina juga akan ikut kembali melakukan tingkah konyol semacam itu setelah sempat vakum akibat patah hati.

Vivi menjauhkan tubuhnya dari Alina, membuatnya kini bisa menatap wajah sepupunya dengan jelas. Tersenyum simpul, ia sudah tahu apa yang baru saja Alina Alami. Bukan dari cerita langsung gadis itu, Bunda Alina yang memberi tahunya dari telefon alasan mengapa Alina memilih pindah ke kota kecil ini, maksud bukdenya memberi tahunya bukan tanpa alasan, tak mau jika dia bertanya langsung pada Alina dan membuat gadis itu mengingat masalahnya kembali.

"Jadi?"

"Aku kangen Mbak Vivi," Alina meraih kembali tubuh sepupunya. Memeluknya erat.

🏥🏥🏥

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang