44. Gagal, coba lagi!

2K 165 75
                                    

"Biar Alin naik mobil ya Mbah?" Ijinku pada Simbah.

Dia menggeleng cepat. "Biar Simbah ngomong sama Kakung, kamu siap-siap apa yang mau dibawa." Ujar Simbah Tegas.

Setelahnya dia berlalu keluar. Aku tak membantah, mengganti kembali bajuku ke pakaian semula. Kubuka kebaya indah ini dari tubuhku, kupeluk kain itu erat, bau kain baru masih melekat disana. Setetes-dua tetes air mata masih keluar kendati telah kupaksa berhenti, kuusap berulang kali. Ku kembalikan kebaya itu seperti keadaan semula. Setelahnya aku keluar, mengunci rumah dan mengembalikan kuncinya ke tempat semula.

Aku berjalan masuk ke dalam kamarku. Harus kusiapkan apa yang sekiranya aku butuhkan. Sebuah kemeja putih dan kerudung corak pastel menjadi pilihanku, membuka satu sisi lain pintu lemari dan mengambil rok mocca dari sana. Saat hendak kututup pintu lemari mataku bersinggungan dengan gaun biru yang tergantung rapih, Mas Mahesa turut membawakannya di hantaran lamaran. Kusentuh rok gaun itu yang sedikit mengembang, bagian atasnya terbuat dari kain brokat bunga-bunga yang indah. Saat itu, aku tak tahu tujuannya memberikanku gaun ini serta, tapi sekarang aku tahu. Mungkin untuk ini alasannya. Kukemas serta gaun itu untuk kubawa.

Mengganti bajuku dengan baju yang sedikit lebih layak. Setelahnya kucangking tas kain berisi baju tadi dan beberapa peralatan lain, sementara en-ji oremero hitam yang tersampir di pundakku hanya berisi ponsel,  dompet, power bank dan dua kotak beludru. Aku berjalan ke arah dapur, mengahampiri Simbah yang tengah berkutat di meja makan, entah melakukan apa disana. Aku juga butuh sedikit minum, kerongkonganku kering terlalu lama menangis. Kuletakkan dua tasku di atas meja makan, berjalan mendekati kulkas seraya membawa gelas. Lalu kembali ke meja makan, duduk di kursi berhadapan dengan Simbah.

"Kakung sedang panggilkan kamu trevel, kebetulan ada yang belum berangkat." Ucap Simbah.

Aku mengangguk, tertunduk. "Maafin Alina merepotkan Simbah sama Kakung."

Simbah tak mengatakan apapun. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya. Terdengar suara kursi bergeser, langkah pelan Simbah memutari meja makan. Dia berpindah duduk ke kursi di sampingku. Membawaku masuk ke dalam pelukannya.

"Kamu ndak merepotkan sama sekali, Nduk. Kamu cucu Simbah." Ujarnya.

Kini aku benar-benar meresa bersalah. Kurasakan usapan tangan Simbah di punggungku.

"Simbah sudah kabarkan Bunda sama Ayahmu. Pekle Eko juga sudah. Kakung minta sama trevelnya supaya kamu diantarkan ke tempat Pakle di Jakarta, nanti ajudan Pakle yang antarkan kamu ke Bogor." Simbah menjelaskan

Di pelukannya aku hanya bisa mengangguk. Setelah sekian waktu, terdengar suara langkah kaki menuju ke arah kami. Kakung berjalan mendekat. Pelukanku pada Simbah terurai.

"Kamu sudah makan?" Tanya Simbah padaku.

Aku diam, tak mengiyakan ataupun menggeleng. Simbah tahu jawabannya. Dia memasukkan sebuah kotak makan ke dalam tas kainku. "Ini roti coklat dan susu kotak, biar perut ndak kosong."

"Nggih..."

Setelah kotak itu masuk ke dalam tasku, tangannya bergerak lagi mengambil dua lembar roti dan mengolesnya dengan selai coklat-kacang. Lalu menyodorkannya padaku dengan sebutir obat mabuk perjalanan. Aku tak membantah, menurut untuk mengunyah.

"Sudah dikasih tau Alinanya Mbah?" Tanya Kakung pada Simbah.

"Sampun Kung, diantarkan ke Pakle nanti." Simbah menjawab pertanyaan Kakung.

Setelahnya tak ada lagi dialog, hingga suara klakson mobil di depan rumah menyeru. Simbah dan Kakung menggiringku untuk berjalan ke luar. Kakung mendahului di teras untuk berjalan mendekati seorang pria empatpuluhan, mereka nampak bercakap.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang