60. Sensitivitas

1.7K 164 7
                                    

Dengan susah payah aku menggeret koper besar yang berisi barang-barang yang aku bawa dari rumah dan barang-barang pemberian Risa. Di depan pintu kedatangan Mas Mahesa menyambut dengan senyumannya, kubalas dengan senyuman terbaikku. Koper dan ranselku berpindah tangan kepadanya, namun dia masih bisa menggema tanganku hangat menuju tempat dimana mobilnya terparkir.

"Mau kemana, dek?" Mas Mahesa bertanya sembari memutar stir, setelah kami sudah duduk di kursi depan mobil.

"Ke rumah sakit ya Mas, saya harus menyeragkan laporan seminar kemarin. Nanti kalau ada warnet berhenti dulu buat ngeprint." Pintaku panjang.

Mas Mahesa hanya mengangguk. Dia memang tak pernah banyak omong.

Tanganku akan membesarkan AC mobil yang masih tak terasa, namun terhenti saat mataku menatap sebuah ponsel yang tak kutahu milik siapa. Benda itu tampak masih baru.

Tanpa ditanya Mas Mahesa tampak akan memberi tahu. "Ponsel mas hilang beberapa hari yang lalu."

"Waktu Mas ngga ngasih kabar akan datang terlambat karena ada acara di Padmakusuma?" Aku memastikan info dari Pakle eko hari itu.

Dia mengangangguk. "Acaranya mendadak, mas mau memberi tahu kamu sulit."

Aku yakin dia tak melakukannya dengan sengaja, Mas Mhesa bukan seseorang sepeeti itu. Kuhela nafas pelan. Aku kian merasa bersalah, kutatap Mas Mahesa. Kasihan sekali dia menerima amarahku. Mubadzir sekali pulsa dan koutanya yang terbuang untuk menelfon dan mengirimiku pesan.

Kutatap dia dari samping. Kasihan.

"Jangan pasang wajah begitu, jadi kurang cantik." Ujar dia yang kutatap. Alisnya mengerut serius balas menatapku sesaat, lalu kembali fokus ke jalanan di depan.

Aku tahu dia sedang bercanda, kali ini akan kuladeni.

"Oh ya? Maksud Mas saya ngga cantik begitu?" Aku memasang wajah marah. Kadang terjasi saat dia salah ucap karena kalimatnya tadi. Kadang aku marah, kadang juga tidak.

Kulihat dia mulai tampak berpikir. "Bukan begitu dek, hanya sedikit berkurang kecantikan kamu kalau sedang cemberut."

Aku kian menatapnya tajam, alisku sudah menukik kedepan hampir menyatu. Lucu melihat wajah Mas Mahesa yang serba salah itu.

"Mas kalau orang cantik mau bagaimana pun ekspresi wajahnya pasti selalu terlihat cantik. Kalau Mas bilang begitu ke saya artinya saya ngga cantik. Sudah pernah yah Mas bilang begitu!"

Aku membuang pandanganku ke luar jendela, menjauhkan Mas Mahesa untuk menatap wajahku. Rasanya aku ingin tertawa kencang. Tahan, tahan.

Dia mulai gelagapan, nafasnya sulit mungkin. "Loh dek, tidak begitu. Di mata saya kamu itu perempuan yang paling cantik."

"Halah, paling juga tiap ketemu perempuan cantik kamu gombalin begitu 'kan Mas?"

"Ya harus!"

Pandangan di luar jendela sudah tak menarik lagi sebagai pengalih, cepat kupalingkan wajah menatap pria itu. Mas Mahesa mengulum senyumnya, tanganku tak kuasa untuk tak menyubit lengan kerasnya. Alisku menunik tanpa kubuat, terjadi dengan sendirinya.

"Aw, sakit dek." Dia mengadu.

"Kenapa begitu." Tanyaku setelah melepas cubitanku, berganti dengan mengusap bekasnya. Aku tak tega melihat wajahnya tadi.

"Bagaimana tidak mas kasih gombal, perempuan cantik di hidup mas itu kamu." Mas Mahesa mengatakan itu dengan wajah kesakitannya.

Kurasakan wajahku memanas, bisa saja dia. Semua organku di dalam tubuh seakan saling bertukar tempat. Tanganku pun tak kuasa lagi untuk tak melayang memukul pundaknya. Dia mengaduh, tak kudengarkan. Salah siapa mengatakan hal seperti itu.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang