12. Seperti Biasa

4.1K 220 0
                                    

Alina Maudia Nafillah

Tak sampai lima menit kedua kakiku telah menapak di marmer lantai teras rumah. Aku tersenyum kepada om Iksan, ajudan Ayah yang kerap kali mengantarkan kemana pun Beliau hendak pergi. Seorang Pria awal 30 tahun.

"Loh kok Om Iksan ada disini ?" Aku bertanya heran, pasalnya tak biasanya Ayah berada dirumah pada jam ini. Ayah terkadang pulang larut seperti pegawai kantor lembur padahal ia adalah seorang anggota pengaman Negara. Kadang Aku bingung sendiri pekerjaan Ayah bahkan mengaharuskannya selalu siap kapan pun tak pandang waktu. Berlayar seperti seorang pelaut hingga berbulan-bulan baru pulang ke rumah.

Bahkan saat wisudaku juga demikian. Ayah datang dengan setelah batik yang sama dengan Bunda berdiri melambaikan tangan kepadaku dari taman kampus,yang tengah berjalan saat itu,keluar dari dalam gedung wisuda. Namun itu tak berlangsung lama kulihat dari kejauhan Ayah menerima telfon lalu berbicara sebentar kepada Bunda. Menatapku yang sedang berjalan dari kejauhan tanpa membuka mulut. Lalu sebelum Aku sampai pada tempat beliau berdiri. Ayah pergi menyisahkan bunda yang berdiri seorang diri.

Kata Bunda, Ayah ada panggilan tugas yang tak bisa ditunda. Bunda mengatakannya bahkan tanpa kuminta. Seakan begitulah seharusnya yang sudah menjadi kebiasaan.

Namun Aku tak marah karna tugas Ayah adalah untuk kami semua. Bukan hanya keluarganya tapi juga yang lain.

Tersadar akan sesuatu Aku bergegas masuk kedalam. Hanya melepaskan sepatu tak berikut dengan kaos kaki. Terakhir kami bertemu adalah di hari pernikahan mbak Anin, dan hari itu sudah berlangsung lebih dari satu minggu yang lalu.

Tak ingin membuang waktu, kucari beliau di ruang tamu, namun tak kutemukan Ayah.

"Assalamualaikum. Ayah,Yah... Bunda"

Berlari memasuki rumah. Jangan sampai Aku tak menemukan Ayah. Kudengar dari Bunda kemarin Ayah hendak ada dinas lagi yang bukan hanya membuatnya harus pulang larut tetapi tak pulang beberapa hari tahu minggu. Baiklah selalu bisa memakluminya.

"Disini Lin !" Terdengar seruan yang kuyakini dari arah taman belakang.

Kulangkahkan kakiku menuju asal suara Ayah berada. Disana tampak ada Ayah masih dengan pakaian dinas hariannya setelan biru kelabu, dia berdiri dihadapan bunda yang duduk dikursi kayu disamping kolam renang. Ayah mengulurkan tangannya kepada bunda yang kemudian dikecup Bunda.

"Tepat waktu..." Ucapku.

"Iya tepat waktu." Pria itu, membenarkan kata-kataku.

Kuambil tangan Beliau melakukan hal yang sama seperti yang Bunda lakukan, ku ulang lagi hal itu juga kepada Bunda.

"Ayah mau pergi lagi ?"

Ia tak menjawab hanya tersenyum kepadaku.

Tampaknya ia tau tanpa perlu beliau jawab pun Aku sudah tahu bahwa ia akan kembali pergi. Kepeluk erat tubuh kokohnya yang sangat jarang bisa kulakukan. "Kali ini berapa lama ?"

"Mungkin 3 bulan." Kurasakan tangannya menepuk punggungku lembut disusul tangan hangat Bunda yang mengusap kepalaku. "Doakan semoga lebih cepat."

Jawaban yang Ia berikan tak sesuai dangan perkiraanku yang hanya beberapa hari yang ternyata bulan. Aku kadmag yak ikhalas walau sudah biasa.

"Apa ngga bisa Ayah pindah tugas kelainnya?"

Aku manja, anggaplah begitu kendati usiaku kini telah menunjukan angka yang bukan anak kecil lagi, 23 tahun Aku hidup.
Masih selalu merasa menjadi Putri kecil Mereka yang selalu ingin pelukan hangat.

"Tugas Ayah kan dibagian navigasi, nak. Jadi harus terus ikut berlayar. Ngga bisa lah pindah tugas seenaknya. Kamu sudah besar toh nduk, ndak perlu Ayah kasih pengertian lagi kan kaya Alic yang tanya kemana Yandanya ?" Ujarnya tergelak.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang