34. Semua penegasan

3K 280 37
                                    

Mahesa pov

Kuhentikan langkahku setelah berlari seraya merangkul bahu Hanif-Adik asuh sekaligus anggota peletonku. Kusempatkan menengok kebelakang, arah tempat Alina memarkirkan mobilnya tadi. Sudah tak kujumpai mobil itu, aku menghela nafas pelan,  melepaskan rangkulanku pada bahu Hanif berganti melangkah berat.

"Kenapa Bang ?" Tanya Hanif dangan rautnya yang penuh dengan rasa penasaran.

Tak menjawab, aku hanya tersenyum samar lalu menggeleng.Rasanya tak nyaman bila harus kuceritakan saat ini kepada Hanif.

"Kok ya Mbak Alina sampai nangis." Dia berceletuk pelan dengan rasa penasarannya, namun aku masih bisa mendengarnya.

Aku tak menyalahkan rasa penasaran Hanif, jelas saja dia sedikit heran. Alina memang sangat jarang marah dan kalaupun dia marah dia hanya akan menggerutu kesal. Alina lucu sekali saat sedang seperti itu, tidak pernah ingin berakhir. Tapi kali ini benar berbeda, untuk pertama kalinya kulihat dia menangis. Sekalipun sedikit lega itu berarti tanda dia percaya kepadaku, tapi mengerti alasan Alina menangis sungguh dadaku sesak. Ini jelas salahku, bagian dari diriku yang menjadi penyesalan karena pernah ada. Karena masalaluku yang tiba-tiba datang membuat gadisku menangis. Memang benar adanya ada beberapa bagian dari masalalu yang terkadang menjadi penyesalan walaupun saat dijalani begitu menyenangkan.

Sedikit berang saat tahu alasannya Rasti mendatanginya tadi, perempuan dari masalaluku yang datang hampir merusak segalanya. Aku yakin Alina tak mengatakan secarah utuh tentang apa yang Rasti katakan kepadanya, pasti menyakitkan untuk diulas lagi. Aku sendiri tak tahu jelas alasan Rasti datang kembali setelah beberapa tahun berlalu dia pergi untuk lebih memilih pekerjaanya dibandingkan aku. Dulu memang aku pernah berharap dia tak menuruti surat pemindahan tugas itu ataupun dia berbalik dan kembali untuk berjalan kepadaku ke arah pelaminan. Tapi itu dulu beberapa tahun yang lalu bukan sekarang.

Dan saat kini aku telah bertemu dengan Alina-Seorang perempuan yang begitu kucintai, yang beberapa bulan lagi akan menjadi istriku Rasti justru datang kembali. Aku sangat menyesal untuk pernah berharap dia kembali.

Menghela nafas lagi, semoga saja semuanya lancar tapi kumpul keluarga untuk mempersiapkan semuanya malah tertunda karena hal ini.

"Bang perempuan kalau jarang marah, pasti sekalinya marah sangat menakutkan." Ucap Hanif lagi, kali ini aku hanya diam saja.

Membenarkan dalam hati walau tak menyahut hanya kembali berjalan menuju kantorku. Sungguh tadi pun aku dibuat terkejut melihat wajah Alina, ada paduan antara marah, kecewa dan emosi lain disana. Tapi tak mungkin aku bertanya bagaimana jelasnya saat melihat gadisku itu berlinangan air mata  seperti tadi.

Satu-satunya jalan untuk tahu adalah dengan menemui Rasti, tapi apakah aku benar harus menemui perempuan itu saat berusaha mati-matian aku menghindarinya dan dia malah datang ke Alina.

Aku sungguh tak habis pikir dengan Rasti. Apa yang sebenarnya dia inginkan dengan datang lagi sekarang. Tak bisa ditampik kenangan kami dulu memang indah tapi semuanya tersapu bersih dengan pilihannya untuk pergi ke luar Negara saat itu. Terlebih berkat ke hadiran Alina aku semakin tak pernah mengingatnya. Tapi jangan pernah anggap Alina hanya pelarianku, aku sungguh tak pernah berpikir seperti itu. Alinalah yang membuatku percaya bahwa Allah memang maha pengatur perasaan seluruh umatnya.

Fokusku ya hanya satu, Alina. Sekalipun ada hal yang mengganjal yang belum sempat kukatakan kepada gadisku itu, tapi sungguh tak ada sangkut pautnya dengan Rasti. Semua antara kami ya hanya Alina dan Aku.

Sekali lagi menghela nafas semoga esok sudah usai masalah ini.

🏥🏥🏥

Sudah dua minggu berlalu sejak hari dimana Alina menangis di hadapanku dan setelahnya dia mendiamkanku. Setiap kudatangi dia di rumah sakit selalu menghindar, tetap berada di dalam ruang bersalin dan meminta temannya mengatakan bahwa dia sedang tak ada, aku tahu sebab salah satu Anggotaku ada yang Istrinya tengah melahirkan di ruangan itu, ataupun pulang tergesa-gesa agar tidak bisa kutemui. Pernah juga kudatangi rumah Kakung untuk menemuinya di satu hari libur yang kumiliki di sela kesibukan. Kami hanya duduk berhadapan saling diam, dia saja sebenarnya yang diam hanya menanggapi sekedarnya saja percakapan yang kubangan. Hingga ponselku berbunyi saat telfon dari Danki masuk memintaku untuk segera ke kantor.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang