16. Hari-hari penuh kesepian.

3.2K 246 18
                                    

Alina Maudia Nafillah

Semua berbeda sejak hari yang berlangsung dua minggu lalu, rumah ini yang selalu hangat kini tampak suram. Kuraih sepasang sepatu putih dari rak, jam kini masih menunjuk pukul setengah enam pagi namun aku telah siap dengan setelan kerja. Berjalan melewati meja makan tempat Ayah dan Bunda yang tengah duduk disana.

"Aku berangkat dulu Bun, Yah..." meraih tangan kedua orang tuanya bergantian.

Kini tak ada lagi peluk hangat dan kecupan di pipi dari Bunda yang mengahantarkanku keluar rumah. Bunda yang selalu hangat kini berubah dingin, sejak hari itu tak ada satu pun sesi dialog terjadi antara aku dengannya. Seperti ada jarak yang saling kami ciptakan.

"Kamu ndak makan Lin?" Ayah bertanya, saat aku dengan terburu-buru berniat berjalan keluar.

Kuhentikan langkah ini sebentar, sekedar untuk tersenyum dan memberi alasan kepada beliau. Kini hanya dia yang masih tetap hangat kepadaku, namun aku yang berubah dingin. Rasa kecewa masih sedikit melingkupi, bagaimana pun beliau juga ikut berperan menerima kehadiaran keluarga yang datang malam itu. "Ngga Yah, udah kesiangan, aku berangkat dulu Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam..."

Kupasangkan sepasang sepatu putih yang sedari tadi kucangking dari dapur ke kakiku. Aku harus cepat menuju rumah sakit, sebelum jam kerja dimulai aku harus mengisi sedikit makanan ke lambung, nyeri perut yang sewaktu-waktu bisa kambuh tak patut untuk diabaikan, hanya sarapan yang bisa menjadi temanku kini.

Semua yang kulalui tampak begitu membosankan dari pagi hingga malam. Tak ada lagi yang bisa membuatku sedikit terhibur. Hanya akan makan saat pagi, berangkat kerja lalu mengurung diri saat dirumah. Aku kini bebas tapi seakan ada pembatas yang membatasiku dengan dunia luar, pergi keluar tak lagi ponsel kubawa sekedar untuk menerima panggillan Ayah. Pergi kesana kemari tak ada yang membatasi, pergi ke Mall, duduk di Kafe seorang diri pun kini bisa kulakukan membiarkan Ayah ketar-ketir mencariku pun kini aku bisa, namun tak cukup tega untuk melakukan hal yang tak pernah sekalipun ku lakukan.

Hingga kini kutengok jam sudah menunjuk pukul 15.30, waktu dinasku tlah usai dari beberapa jam yang lalu, namun rasanya enggan pergi dari ruangan senyap ini. Begitu hening tak ada pasien satupun kini yang tengah butuh penanganan proses persalinan ataupun yang masih dalam tahap pembukaan, semuanya telah selesai, barangkali akan datang beberapa waktu lagi.

"Hei..." Leli datang, duduk tepat disampingku. Dia baru saja tiba sebab jam dinasnya baru saja akan dimulai beberapa waktu lagi. Ia duduk tepat disampingku, memainkan ponselnya.

"Lel kamu dinas malem?" Aku bertanya, walau kutahu jawabannya.

Gadis dengan gingsul manis itu mengangguk, mengalihkan tatapannya dari ponsel yang ia genggam, beralih menatapku.  "Kenapa Lin?"

"Katanya pacarmu, Dika lagi libur kan?" Aku bertanya sekali lagi.

"Iya, Mas Dika lagi cuti, kenapa emang?"

"Kamu ngga jalan gitu sama dia?"

kulihat Leli merengut, pasalnya Dika-pacarnya bekerja di luar Kota, jarang sekali mereka akan bertemu, pasangan LDR. "Iya, giliran dia ngambil cuti aku yang sibuk harus jaga malem gini..."

"Mending kamu jalan sama pacarmu Lel, biar aku yang ngantiin kamu." Ujarku, mentapnya penuh harap.

Sebenarnya ini bukan pertama kali aku seperti ini, sudah berlangsung sejak beberapa malam yang lalu. Terlalu bosan hanya berdiam diri di dalam kamar, walau disini sama saja hanya termenung diam menunggu.

"Eh jangan..." Leli menggeleng, nampaknya ia tak bisa menerima saranku, harus kukeluarkan beberapa kalimat lagi untuk membujuknya. "Aku juga masih hutang tiga dinas sama kamu masa' mau hutang lagi sih."

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang