36. Malam minggu dan Masa depan 1

3K 209 17
                                    

Alina pov

Alhamdulillah semua proses untuk mendapat surat izin menikah sudah kami lalui. Surat menyurat, tes tulis dan lisan, pemeriksaan kesehatan, hingga ke Kodam, dan hari ini hanya tinggal menghadapan atasan Mas Mahesa di tempat dia berdinas Brigif 4/Dewa Ratna yang kini tengah kami lakukan dan sudah beberapa orang, tak tahu tinggal berapa rumah dinas lagi.

Jika di total kurang lebih dari tanggal aku pergi ke Semarang untuk surat pribadiku hingga hari ini, waktu yang dihabiskan tak sampai satu bulan, hanya 27 hari, itu pun karena ada hari dimama Mas Mahesa harus dinas ke luar kota beberapa hari dan shift kerjaku di siang hari yang tak bisa digantikan. Aku bersyukur tak cukup lama sebab dari cerita beberapa istri atasan Mas Mahesa sembari mereka memberi arahan dan petunjuk tadi, ada yang sampai dua bulan lebih hampir tiga bulan baru selesai. Sangat kusyukuri kemudahan ini.

Tubuhku hari ini dibalut seragam persit dengan kerudung yang dimasukan ke dalam baju dan tak ketinggalan sapatu wedges lima sentimeter juga tak hitam tangan yang keduanya berwarna hitam matte. Saat pertama kali  kupatut tubuhku di depan cermin semua tampak bagus, tak seburuk yang aku kira. Kusangka akan terlihat membosankan dan terlalu formal saat aku yang memakainya. Tapi nyatanya lebih terkesan dewasa, aku juga merasa anggun saat memakai baju ini, tak sia-sia harus memesan jauh-jauh hari semua yang kupakai ini terasa nyaman.

Setelah tadi baru saja keluar dari rumah Letkol. Agus dan Istri, yang selanjutnya adalah yang terakhir kata Mas Mahesa. Kami berjalan pelan memasuki komplek perumahan Dewa Ratna lebih dalam. Langkah kami berhenti di depan sebuah rumah dengan pintu yang terbuka namun tampak sepi.

"Selanjutnya, ini rumah siapa Mas ?" Seperti sebelumnya, aku selalu bertanya kepada Mas Mahesa rumah siapa yang akan kami masuki. Jika ditanya mengapa tak ditanya sejak sebelumnya, pikiranku terlalu mumet sebab sebelumnya sudah menghafalkan terlalu banyak hal tentang Pria di sampingku ini, dari NRPnya, riwayat penugasan, pendidikan, pelarian, hingga perasaan. Aku tak tahu lagi.

"Dangki, komandan kompiku. Kapten Budi Araffan..." Jelasnya. Tapi kukira dia berhenti sebentar untuk melanjutkan kalimatnya. Mas Mahesa menunduk, diraihnya tanganku menggamnya sesaat. Kuamati gurat kelelahannya yang tak bisa dia samarkan dengan lengkungan senyum itu, kantung matanya yang tak mungkin aku pakaikan concealer itu menyeramkan, tapi Mas Mahesa masih gagah. Dia tampak kelelahan namun dia masih saja berusaha menutupinya.

"Mas keliatan lelah sekali. Mas baru pulang tadi subuh dan kita langsung menghadap. Maaf ya Mas." Kataku merasa tak enak sendiri, rasanya aku begitu menyusahkan membuat dia repot saja.

Dapat kurasakan tangan Mas Mahesa yang tadi sudah lepas kembali membungkus tangan kecilku. "Jangan bicara seperti itu, mas juga ingin semuanya cepat selesai Dek. Ini bukan salah kamu, jangan minta maaf. Ini prosedur yang dibuat Negara, ngga mungkin kan kamu mau menyalahkan Indonesia ?"

Dia masih bisa bercanda, aku hanya menatanya diam, tak tahu lagi harus menimpali apa.

Ehm... satu lagi aku jelaskan. Memang sejak hari-hari pengajuan kami, entah bagaimana tercetus Mas Mahesa yang menyebut dirinya untukku dengan 'Mas' dan dia yang memanggilnya 'Dek' kadang-kadang saat penggal kalimatnya pas. Katanya menjadi lebih nyaman saja, juga itulah yang menjadi kebiasaan di lingkungannya sebab begitu terdengar lebih sopan dari pada dengan saling menunjuk saya/aku-kamu. Kami juga tak terlalu formal. Aku tak berkomentar, sebab aku juga suka, aku merasa lebih dekat jika seprti ini. Bagiku panggilan kami sekarang juga lebih manis, tak terlalu berlebihanlah macam ABG labil Ayah-Bunda padahal belum menikah .

Sekali lagi kutemukan sebuah senyum di wajah Mas Mahesa. "Ayo, sepertinya mereka ada di dalam." Ajaknya.

Aku mengangguk mengekor di belakang Mas Mahesa untuk melangkah melewati taman kecil sebelum sampai ke teras rumah di hadapan kami ini. Setelah sampai di depan pintu rumah aku dan Mas Mahesa bersamaan mengucap salam,  disauti oleh sepasang suami-istri yang masing-masing tangannya menggenggam tangan mungil seorang batita yang cara berjalan masih tertati-tati.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang