43. Bayangan

1.8K 171 34
                                    

Alina pov

"Mbak ngga berubah pikiran?" Itu suara Meisya dari saluran telfon yang bertanya. "Ini masih jam 3, nanti kita berangkat sehabis isya."

Dia sudah menanyakan hal yang sama  berulang kali. Setelah Ibu sudah cukup lelah untuk memaksaku turut ikut tapi selalu kutolak. Aku masih tak bisa mengontrol diriku sendiri.

"Ngga Sya, maaf mbak ngga bisa ikut." Jawabanku tetap sama.

"Mbak ngga usah bawa baju kok kalau ngga sempet. Baju kita kan seukuran, aku bisa siapin buat Mbak. Nanti Mbak Alin kita jemput ke rumah sakit." Tawarnya tapi aku enggan.

Aku disini menggeleng walau tahu gadis itu tak akan melihatnya. "Mbak ngga bisa cuti tiba-tiba, titip salam aja buat Mas yah. Bilangin hati-hati."

"Salam aja ngga cukup Mbak, pasti Mas Mahesa lebih seneng Mbak dateng. Setahun lagi kalian baru bisa ketemu loh, Mbak."

Aku disini hanya bisa tersenyum pilu. Atau mungkin tak akan ada pertemuan lagi.

"Mbak ngga jawab telfon Mas yah?"

"Dia bisa kirimin mbak pesan kok."

"Tapi ngga Mbak balas kan?" Tanyanya.

Aku meringis. "Mbak bingung mau balas apa."

"Mbak tau ngga Mas jarang banget telfon aku biasanya cuma chat. Tapi belakangan dia telfon terus Mbak, tapi batasannya lebih banyak tentang Mbak Alin." Cerita Meisya, aku disini mendengarkan. Tak berniat untuk memotong. "Waktu Mbak Alin Mas bawa ke rumah aku agak sedikit kaget sebenarnya, rasanya Mas cepet banget move on dari Mbak Rasti, ngga sampai dua tahun. Lebih kaget lagi saat kurang dari setahun kalian putusin buat nikah. Tapi aku tahu alasan Mas, setelah kenal Mbak Alin lebih jauh. Perempuan seperti Mbak itu langka."

Aku hanya bisa menghela nafasku sepelan mungkin. Tak tahu harus mengatakan apa. Tersenyum tipis.

"Aku penasaran alasan Mbak mau sama Mas?" Tanyanya.

"Mbak juga bingung." Antara terlalu banyak alasan dan tak tahu harus mengatakan apa.

"Mas datang terlalu tiba-tiba ya Mbak?"

"Iya..." ku akui. "Tapi mbak ngga kaget. Mas selalu bisa menempatkan diri. Mbak lebih kaget waktu Mas mau pergi seperti sekarang, lebih tiba-tiba dari waktu dia datang."

"Mas titip pesan buat Mbak."

"Apa?"

"Katanya Mbak jangan sedih, jangan nangis."

Aku tertawa pelan, tapi bulir air mata ikut lolos. Segera kuusap kasar. "Mas ngga ngingetin mbak supaya jangan telat makan sama solat?"

"Oh ya..." kudengar suara tepukan, mungkin Meisya menepuk dahinya. "Katanya Mbak jangan lupa makan sama minum, kalau solat ngga nyuruh ngingetin Mbak. Kata Mas, kalau itu Mbak pasti udah tau."

Lagi-lagi aku tersenyum pilu. "Sampaikan juga ke Mas, jaga diri."

Kudengar helaan nafas dari sana sebagai sahutan. Mungkin Meisya sudah lelah membujukku, hal yang kuharapkan sejak awal.

"Ya udah,  kalau Mbak berubah pikiran bisa langsung dateng ke rumah yah sebelum isya."

"Hati-hati yah." Jawabanku tak sejalan.

Sambungan terputus setelah salam.

Hari ini genap tigapuluh satu hari sejak Mas Mahesa  mengatakan padaku dia harus pergi. Tigapuluh hari dia mengikuti pelatihan sebelum berangkat ke Kongo sebagai pasukan Garuda. Dan selama itu pula kami tak melakukan komunikasi apapun. Ada pesan yang masuk dari pria itu ke ponselku, juga panggilan tapi tak pernah satupun kubalas dan kuangkat. Aku hanya membaca pesannya berulang kali, berharap kalimat-kalimat yang Mas Mahesa tulis dikatakannya secara langsung di hadapanku. Berharap panggilan itu adalah sapaannya di depanku.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang