52. Sembilanbelas bulan berlalu

1.9K 201 32
                                    

Tesisku sudah rampung, hanya menunggu beberapa waktu atau mungkin bulan untuk jadwal wisuda. Sekarang sore hari dan aku tengah duduk di kursi pojok dekat jendela kafe Fani. Semarang sore ini masih panas di kulit, namun tak juga sepi oleh hal itu. Aku tak mungkin datang kesini jika saja tak untuk menemui seseorang yang lama tak kutemui. Aku cukup rindu pada orang itu, tapi dia bukan Mas Mahesa. Bicara tentang pria itu, kini 19 bulan dia pergi dan aku tak tahu apakah mungkin dia akan kembali padaku.

Semakin banyak hal yang terjadi. Viona yang sedang menjalani trisemeter pertama diawali dengan berita duka. Kakung telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan duka mendalam yang tak kunjung berkesudahan. Tak ada lagi pria yang akan menemaniku bersepeda memutari jalanan desa. Menjemputku jika sempat di waktu sibuknya. Melarangku untuk kesana kemari seorang diri. Kini tinggal Simbah yang berusaha tabah meski rapuh di dalamnya berusaha dia sembunyikan saat kami semua tengah berkumpul.

Masih kuingat pagi itu dimana Simbah begitu berat melepasnya untuk pergi cek-up rutin seorang diri tanpa supir. Kakung pergi sendiri ke rumah sakit, biasanya bersama Simbah namun hari itu berbeda. Dia meminta untuk pergi sendiri. Hari itu na'as. Kakung bukan pergi karena sebuah penyakit, nyawanya tak tertolong akibat kekurangan darah karena luka kecelakaan yang begitu parah. Ada truk kontainer  yang menabrak mobil Kakung. Semua korban selamat kecuali pria itu. Duka mendalam untuk keluarga besar. Takdir memang tak bisa ditebak. Padahal masih teringat jelas bagaimana kokohnya tubuh pria itu saat memelukku. Kakung masih bugar diusianya, tak pernah kusangka dia akan pergi secepat itu karena sebuah kecelakaan.

Dialog sore harinya pun masih kuingat.

"Kamu harus sabar nunggu Mahesa, kakung yakin sebentar lagi dia pulang. Semoga saja kakung masih bisa lihat cucu perempuan ini nikah." Ujarnya seraya merangkul bahuku.

Pemandangan sawah di depan tak lagi membuatku gembira. Kata-kata kakung menakutkan. Meski ajal adalah sebuah kepastian, tetap saja itu buruk sebagai topik pembicaraan.

Aku cemberut di sampingnya. "Kakung kalau ngomong sembarang, mau sama siapapun aku nikah nanti harus ada Kakung disana."

"Memangnya sama siapa kamu mau nikah selain dengan Mahesa?" Dia terkekeh, aku tidak. "Umur ndak ada yang tau." Sambungnya.

Aku diam, tak ingin menyahut.

"Kakung ingin lihat semua keluarga kumpul. Sudah lama kita ndak kumpul lengkap."

Mungkin Kakung sudah firasat.

Dia hebat. Impiannya terwujud. Seluruh keluarga memang akhirnya berkumpul. Bukan untuk bercakap-cakap seperti biasanya saat kami menghabiskan waktu bercengkrama. Semua berkumpul untuk berduka atas kematian Kakung. Bibi, Paman, Pakle, Bukle dan semua saudara jauh datang untuk berkabung. Aku tak tahu pada saat itu harus bersandar pada siapa. Bunda menangis, Ayah juga menangis meski dia berusaha tetap tabah menyambut para tamu, Simbah yang paling terpukul, tapi aku sama terpukulnya dengan perempuan itu.

Yang lain menangis di dalam kamar, ketiga saudariku juga hanya bisa diam sesenggukan. Aku kuat, masih bisa ikut membacakan yasin di depan jenazah Kakung meski dengan air mata ikut menyertai. Tapi pada kematian Kakung kutemukan kejutan, Ibu dan Bapak datang mengejutkan. Aku tak kuasa untuk tak kuasa labuh pada rentangan tangan Ibu. Mengadu padanya atas kesedihanku hari itu.

"Ibu..." aku menangis seketika di dalam pelukannya.

"Sing sabar nduk..." kurasakan usapan hangatnya pada punggungku.

"Kakung janji, dia mau lihat Alin nikah Bu. Kok ya malah begini..." Aku menangis sesenggukan, tangisku pecah tak tertahankan lagi.

Semua kuadukan padanya hari itu. Kesedihanku atas kepergian Kakung. Tak membahas apapun tentang putranya. Lama kami tak bertemu, justru bertemu dalam keadaan duka.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang