57. Biarlah... biarlah...

2.1K 239 30
                                    

Sudah tahu kan bagaimana ujungnya. Kami harus kembali mempersiapkan pernikahan yang sempat tertunda, meski tak terlalu banyak tapi tetap merepotkan. Aku tak tahu bahwa Ibu dan Bunda sudah menyiapkan gedung dan segala perintilannya dibantu keluarga yang lain. Satu masalah selesai. Kebaya akad dan resepsi kembali dipaskan ke butik semula, dua masalah selesai.

Banyak yang berubah, tapi seolah punya pengalaman sebelumnya semua terasa lebih mudah. Jika di saat perencanaan pernikahan kami dua tahun lalu aku mungkin masih uring-uringan hanya karna bunga yang diinginkan sedang sulit didapat, rasanya kini biasa saja. Bukan karna tak antusias, jelas pernikahan ini sebuah hal yang sangat istimewah, pertama kali seumur hidup. Tapi kini lebih bisa mengatur pikiran, mungkin efek umur yang semakin dewasa, jika ada masalah pasti selalu ada solusi untuk memecahnya. Dua tahun memang banyak mengubah segalanya. Mas Mahesa itu ngawur memang kadang katanya akan tetap sama, entah apa yang dia maksud.

Namun beberapa masalah selesai, satu masalah terjadi dan masih belum bisa terselesaikan, rasanya khusus ini aku tak bisa untuk tidak uring-uringan. Bukde Ratih-pemaes keluarga yang akan merias dan menuntun segala prosesi pernikahan dari pasang tarub hingga sungkeman sudah tidak bisa melakukan profesinya lagi. Beliau sudah pensiun, paes sudah diturunkan kepada putrinya Mbak Tyas. Namun bukan itu masalahnya, masalahnya adalah pada waktu yang sudah diatanggalkan untuk pernikahan kami jadwal Mbak Tyas sudah penuh semua, hingga tiga bulan ke depan. Jangan tanya mengapa kami tak memesan jauh-jauh hari, semacam hal itu tak boleh dilakukan sebelum surat izin menikah keluar.

Ya kini lagi-lagi kami berada di posisi yang sama. Aku berbalut seragam persit tanpa lencana dan Mas Mahesa dengan seragam dinas hariannya berhias tiga balok emas. Surat Izin menikah hanya berlaku selama enam bulan, setelahnya hangus dan mengharuskan kami mengulang proses pengajuan nikah. Kami sudah menyelesaikan beberapa tahapan proses untuk nikah kantor, sedang berada di tahap akhir yaitu mengahadap senior dan petinggi kesatuan, lagi.

Hanya tinggal beberapa rumah untuk sampai ke rumah yang kami tuju pertama namun terhenti oleh ponselku yang berdering, telpon dari Bunda masuk. Aku bingung akan mengangkatnya atau tidak mengingat kondisi saat ini. Kurasa baiknya tidak, kuharap Bunda mengerti alasannya setelah tadi malam kuceritakan lewat telephon, kubiarkan ponsel itu bergetar di dalam genggamanku. Namun tak kurasakan ponselku menghentikan getarnya, tampaknya ini adalah sesuatu yang penting. Kuharap ini berita baik, tentang Mbak Tyas yang punya waktu luang untuk pernikahan kami atau pengganti Bukde Ratih lainnya.

Kutepuk pelan pundak pria di depan. Mas Mahesa melirikku melalui kaca spion.

"Kenapa, dek?" Tanyanya.

"Berhenti sebentar, Bunda telfon. Sepertinya penting Mas."

Dia menepi untuk menghentikan motornya. Aku turun dari motor dan berdiri di samping pria itu.

"Boleh, Mas?" Tanyaku, memastikan untuk mengangkat panggilan.

Dia mengangguk, memperhatikan jam di tangannya.

Aku menggeser panel jawab di layar ponsel.

"Masih ada duapuluh menit." Ucapnya

Baiklah.

"Assalamualaikum, Bun." Aku memberikan salah sebelum Bunda.

"Waalaikumsalam nduk." Dari sana Bunda menjawab. "Lagi dimana?"

"Sama Mas Mahesa Bun, ini mau menghadap ke beberapa Seniornya." Aku melirik ke arah Mas Mahesa, juga jam di tangan kiriku.

"Oh kalau begitu biar nanti kalau kamu sudah sampai rumah saja telfon Bunda."

Aku mengernyit. Bunda aneh, biasanya dia juga langsung bicara tak menunda-nunda waktu. Macam ada yang tak beres, aku tahu dari nada suaranya.

"Masih ada waktu kurang dari duapuluh menit kalau Bunda mau bilang sesuatu, jangan buat aku kepikiran."

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang