47. Teman baru

1.6K 177 41
                                    

Beberapa hari setelah malan horor yang disusul kedatangan Bu Dian yang ingin mengajakku berbicara, dokter Brian tak datang lagi. Usai aku mengatakan itu kepada dokter Ica dia juga sudah bisa menerima alasanku, saling meminta maaf kini hubungan kami sudah baik-baik saja.

Setelah aku yang mendatangi dokter Brian agar dia menghentikan mengirimiku makanan lagi dia juga tak muncul. Hingga aku hari ini setelah aku selesai shift sore dia datang menghampirku. Meminta waktu untuk berbicara, ingin mengelak tak tega juga. Aku menolaknya ajakkannya untuk makan siang seraya bicara di kafe, berakhir kami yang kini duduk dengan jarak di kursi lorong rumah sakit dimana tak banyak orang yang lewat dan jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Saya minta maaf," dia yang berbicara pertama kali.

Aku menengok ke samping untuk melihatnya.

"Maaf atas sikap dan tindakan saya yang mengganggu dan membuat kamu tidak nyaman." Ucapnya seraya tertunduk. "Saya akhirnya sadar kamu bukan Hayfa..."

"Sudah saya maafkan, dok." Jawabku.

"Saya berjanji tidak akan mengganggu kamu lagi, Alina."

Aku mengangguk. Kuharap terlaksana.

Aku tak tahu apa yang membuat dokter Brian tiba-tiba seperti ini. Tapi dia kini telah tersadar aku bukan dokter Hayfa. Aku Alina.

Kulihat kini wajahnya terangkat. Tatapan mata itu lagi-lagi menyorotku begitu dalam, membuatku mau tak mau mengalihkan wajahku agar tak menghadap ke arahnya.

"Tolong biarkan saya melihat wajah kamu, setelah ini mungkin saya tidak akan sering lagi menemui kamu." Nadanya terdengar begitu sendu.

Aku sebenarnya enggan. Tapi kalimat dokter Brian tampak sungguh-sungguh. Nadanya membuatku tak tega. Kuharap itu juga benar.

Perlahan kuhapkan wajahku ke arahnya. Membiarkan dia menatapku dengan jarak lebih dari satu meter. Tatapannya sendu, sarat akan kesedihan. Tak ada sedikitpun perasaanku merasa senang terpuja mendapat perhatian dari dokter Brian, aku paham betul itu bukan tulus untukku. Dari tatapannya kini aku tahu betul sebesar apa perasaannya untuk perempuan itu, dan dari tatapannya itu aku juga tahu sebesar apa kesedihan yang dia pendam atas kepergian perempuan itu.

Sekian menit kami saling diam, dengan dia yang terus menatapku. Hingga suaranya memecah hening.

"Kalian sangat mirip, tingkah kalian pun serupa." Dokter Brian berujar.

Aku sedikit setuju. "Saya pernah melihat wajah dokter Hayfa, ternyata kami memang semirip itu."

"Melihat kamu pertama kali, saya merasa Hayfa hidup kembali. Mungkin karna saya terlalu merindukan dia, membuat saya melampiaskannya kepada kamu." Nadanya begitu sendu. "Awalnya saya tidak menerima penolakan kamu, hingga akhirnya saya sadar Alina... kamu bukan Hayfa, dia tidak seberani kamu." Dia tersenyum diakhri kalimat.

Aku itu tersenyum. "Untuk membentak dokter?"

Dia mengangguk.

"Saya minta maaf untuk ketidaksopanan saya."

Dia menggeleng. "Tindakkan kamu sudah tepat, kalau kamu tidak begitu mungkin saya tidak akan pernah sadar."

"Boleh saya memberi dokter sedikit masukkan?" Tanyaku.

Dia mengangguk sekali lagi.

Aku ingat kata-kata yang Mbak Vivi katakan padaku di depan makan Bukle Ika. Tentang seseorang yang telah pergi.

"Dokter harus melanjutkan hidup dokter. Terlalu berlarut-larut dalam kesedihan itu tidak akan membuat dia kembali lagi. Dokter harus menata hidup dokter lagi. Membuka hati, untuk orang baru. Tapi cintai orang baru itu karena dokter memang mencintai dia, bukan karena dia mirip dengan seseorang di masa lalu dokter... karena itu sangat menyakitkan." Kuharap dia melakukannya. Karena sebenarnya cara terampuh untuk melupakan seseorang itu adalah dengan menemukan orang baru. "Kalaupun dokter tidak bisa melupakan dokter Hayfa tidak apa-apa, semua tentang dia bisa disimpan sebagai sebuah kenangan. Sebagai pengingat kalau dokter pernah mencintai seseorang begitu dalam sampai akhirnya tiba waktu untuk melepaskan dia." Aku menghela nafas sebelum melanjutkan.

"Kalau dokter sedih, dokter bisa nangis. Menangis itu manusiawi." Ujarku.

Kudengar tawanya, tapi terdengar tak lepas. "Saya laki-laki." Ujarnya.

Aku mengernyit. "Tapi dokter manusia 'kan?"

Dia diam. Kulihat rautnya kian menyendu. Dia tertunduk.

Aku masih menunggu jawabannya. "Saya bisa duduk disini menemani dokter. Jemputan saya masih datang satu jam lagi."

"Tolong temani saya sebentar." Pintanya.

Aku mengangguk.

Lambat laun isak keluar dari bibir pria itu. Dokter Brian tampak sudah memendam kesedihannya seorang diri terlalu lama. Dengan dia menangsi kuharap bebannya tak lagi berat.

Cinta itu adalah sebuah perasaan yang mendorong untuk melakukan sebuah hal positif, yang dimiliki seorang individu untuk individu lain. Aku tak tahu jelas bagimana menggambarkan cinta dengan jelas. Bagiku cinta itu subjektif, jadi seseorang memiliki definisi yang berbeda-beda. Dan bagiku yang begitu tentang cinta. Hal yang begitu rumit sebenarnya untuk digambarkan.

Cinta adalah kata paling luar biasa yang pernah kudengar. Kata paling aneh yang bisa pas dengan tambahan kata lain apapun, seperti jatuh cinta, cinta sejati, cinta monyet, cinta bertepuk sebelah tangan, khusus yang terakhir memang menyakitkan.

Cinta juga bisa menjadi sebuah jawaban dari pertanyaan apapun. Yang paling mudah, hingga yang paling sulit di dunia.

Seperti saat aku bertanya kepada Mas Rian.

"Kok Mas tahan banget ngedengerin Mbak Airin ngomel berjam-jam, kenapa ngga ngehindar sih?"

"Ya karna Mas cinta sama Mbakmu, meski bibirmya tipis." Jawabnya kalem.

Ketika Mbak Dila juga kutanyai.

"Kenapa Mbak mau berjuang sama Mas Irham buat dapetin restu orang tuanya sih?"

Mbak Dila tersenyum tipis. "Kalau sudah cinta ya gitu, Lin."

Begitupun Farhan. "Adikku masih kuliah mau diajak nikah?"

"Aku cinta sama dia." Jawabnya malu-malu.

Begitu juga aku. Alasanku mengapa aku mau menunggu Mas Mahesa. Aku mencintainya. Kukakatakan adalah kedua kali dan itu adalah Mas Mahesa. Setelahnya aku tak yakin akan bisa mencintai seseorang lagi, kurasa dia adalah yang terakhir. Menjadi sebab mengapa kini aku melotot atas apa yang terjadi di hadapanku saat ini.

Isakkan dokter Brian semakin memelan, hingga tak terdengar lagi. Kusodorkan tisu ke arahnya, dia menerimanya tanpa penolakkan.

"Saya mencintainya dan saya harus melepaskan dia." Ujarnya sedang suara sengau.

Aku mengangguk. "Doakan dia, sudah cukup."

Begitupun dokter Brian. Cinta bisa menjadi sebuah alasan untuk dia bisa merelakan dokter Hayfa agar tenang.

Aku mengangkat tangaku untuk mengajaknya bersalaman.

Dokter Brian mengangakat satu alisnya, tak mengerti maksudku.

"Perkenalkan nama saya Alina Maudia, dokter bisa memanggil saya Alina. Saya bidan dari ruang." Aku memperkenalkan diri.

Bibirnya membentuk senyum, balas menjabat tanganku. "Saya Xabrian Dewangga, panggil saya Brian."

"Kita teman sekarang dok." Ucapku.

Dia mengangguk. "Terimaksih Alina, saya merasa lebih baik."

"Sama-sama."

***************************************************
Jakarta,
Sabtu, 20 Juli 2019

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang