Mahesa pov
Masih terbayang punggung Alina yang menghilang di balik pintu kamarnya. Aku tahu bagaimana kekecewaannya padaku dari tatapan mata itu yang selalu ceria malam itu tampak pilu. Aku memang salah tak membiarkan dia tahu disaat semua orang tahu tentang keberangkatanku sebagai salah satu anggota pasukan Garuda ke Kongo.
Aku tak ada niatan untuk membuat Alina merasa tak dihargai sama sekali, apalagi menganggap dia mudah. Aku sudah membicarakan semua ini dengan keluarga begitupun Ayah dan Kakung, tentang jalan tengah yang baiknya diambil. Dan Seharusnya malam itu aku memberitahu Alina semuanya, namun dia lebih dulu mendengarnya. Tak menerima alasanku sepenuhnya. Satupun alasan memang tak ada yang bisa dibenarkan.
Ku akui aku memang salah. Keberangkatanku ke Kongo bukan tanpa rencana, sebab harus melewati banyak tahap dan tes. Beberapa kali aku hilir-mudik ke Bandung inilah yang menjadi alasannya, dia juga ikut menyemangatiku. Aku bahkan sudah beberapa kali mendaftar setelah memenangkan lomba kesatuan, namun baru kali ini berhasil.
Goresan belati tak lebih menyakitkan dari pada tangis Alina yang tumpah karena aku penyebabnya. Bagaimana kekecewaannya terhadapku yang menyembunyikan hal ini kepadanya. Bahkan tak pernah terbesit dalam pikiranku akan membuat gadis itu menjatuhkan air matanya sebab kecewa bukan bahagia.
Aku bersalah.
Jika ada waktu sedikit lagi semalam aku ingin berpamitan dengan baik padanya. Berharap senyumannya menjadi pelepas kepergianku. Aku pergi untuk Negara, dan suatu kebanggan bagi seorang prajurit mendapat tugas ini.
Aku memperhatikan beberapa prajurit lain yang tengah berpamitan kepada keluarga mereka di tepian lapangan kesatuan kami. Suasana harus menyelimuti, beberapa Persit tampak menangis sembari memeluk ksatrianya. Aku turut sedih untuk anggota pletonku sebab ada seorang istri yang tengah mengandung harus ditinggalkan dan anak yang masih sulit menyesuakan diri ketika Ayahnya pergi.
Juga diriku sendiri sebab harus meninggalkan calon istri di saat pernikahan kami akan terselenggara sebentar lagi. Rekan-rekanku pasukan pedang pora dan segala persiapan gedung dan sebagainya terpaksa di undur, tak tahu sampai kapan. Aku beruntung Ayah dan keluarga Alina lainnya mendukungku.
"Sudah pamit dengan keluarga?" Tangan Bang Budi menepuk pundakku dari belakang, kemudian dia berdiri di sampingku.
Seketika aku bersikap siap, tak bisa santai sebab berada di dalam kesatuan. "Siap sudah Bang."
Aku sudah berpamitan pada semua keluarga. Ibu menangis mememelukku saat aku pamit dari rumah, padahal malamnya dia baru saja memarahiku habis-habisan perihal Alina. Itulah aku tak membiarkannya datang kesini seperti keluarga prajurit lain.
"Alina bagaimana?" Tanyanya lagi.
Aku diam, memikirkan jawaban yang tepat namun terlalu lama.
"Maklumlah, dia butuh menenangkan diri. Terlalu mendadak buat dia dek." Bang Budi juga tahu. "Yang terpenting fokus disana, lakukan semua tugas dengan baik. Kalaupun terpaksa meninggalkan calon istri, setidaknya ada yang jadi penenang. Disana semua kamu lakukan dengan baik dapatkanlah beberapa penghargaan."
"Siap Bang."
"Pimpin pasukanmu." Titahnya.
Dengan mantap aku memimpin pasukan. Menginterupsi mereka untuk pemberangkatan ke Sentul, Bogor. Di dalam hati juga merapal, berharap sebelum aku menaiki truk ada Alina yang datang menyalami tanganku meski itu mustahil. Terbukti ketika roda trus mulai berputar meninggalkan jejak di jalan keluar dari gerbang kesatuan bayangan Alina pun tak kulihat.
Kami ini aku berpihak pada seragamnya. Keinginanku. Egoku. Tapi semoga Rabb masih berbaik hati mengabulkan satu pintaku. Semoga bulan depan, di keberangkatanku menuju Kongo aku masih sempat berpamitan pada tadi aku dengan layak. Meski dia memang ada di irutan kesekian di list prioritas, tapi dia selalu ada di selalu ada di dalam doa yang kupanjatkan kepada Tuhanku.
**************************************
Kamis, 22 Mei 2019Terimakasih sudah mau membaca dan menunggu cerita ini 😘😍😊
KAMU SEDANG MEMBACA
My Midwife Is My Future [AUTHOR NGARET]
Lãng mạnSiapapun tidak akan pernah bisa mencintai untuk kedua kali dengan cara yang sama setelah merasakan suatu kekecewaan. Alina Maudia, seorang bidan cantik lemah lembut. Hanya mengisi hidupnya dengan satu hal. Mengabdi pada Negara dengan membantu proses...